Wajah yang Tergaruk
Ribuan kali, ribuan orang berbeda bertanya "Bagaimana caranya?" tatkala saya mengatakan masalah manusia hanya ada di dalam dirinya dan satu-satunya cara untuk menyelesaikannya bukanlah mencari jalan keluar tapi jalan ke dalam.
Hari ini saya akan berbagi contoh kasus yang sedang saya alami saat ini.
Beberapa hari terakhir ini hampir semua bagian kulit tubuh ini sering merasa gatal.
Karena saya sedang di ubud, maka kecurigaan alergi makanan bisa dinihilkan, sementara sebab luar seperti nyamuk atau tungau selama ini tidak begitu menikmati darah dan kulit saya.
Pikiran saya langsung ikut menduga ulat bulu yang katanya orang sekitar memang sedang banyak-banyaknya disini.
Reflek tanpa sadar saya melakukan garukan yang membuat luka kecil di beberapa tempat termasuk wajah yang saya duga tergaruk sewaktu tidur oleh kuku yang belum dipangkas.
Normalnya bila merasa ada masalah mulailah kita mencari solusi, dan reaksi sebagian besar dari kita adalah segera 'Membereskannya'.
Dalam hal ini yang biasa dilakukan mensterilkan rumah sambil memberikan saleb pada luka.
Keduanya biasanya berbahan kimia.
Kalau penyebab gatal sudah hilang dan luka sudah sembuh maka misi sudah dianggap selesai, inilah yang sering disebut masalah sudah beres.
Bagaimana dengan sikap kita di dalam?
Apa emosi di dalam yang menggerakkan kita untuk membereskan masalah?
Apakah emosi itu juga sudah beres?.
Dalam meditasi pagi tadi saya melihat sekaligus me re-view apa yang terjadi di bathin saya.
Awalnya saya menyadari ada sikap menyalahkan yang muncul, seperti "Gara-gara ulat bulu nih, saya jadi begini"
Setelah melihatnya lebih dalam, benderanglah bahwa sikap menyalahkan berasal dari kemarahan saya.
Dan kemarahan apapun tidak pernah disebabkan oleh aspek diluar diri ini.
Kemarahan saya berasal dari ketidakmampuan saya untuk menahan keinginan untuk menggaruk tempat yang gatal, maka terjadilah luka.
Ego saya tidak mau disebut tidak mampu maka ia mulai mengeluarkan alasan yang menyalahkan pihak luar.
"Kalau tidak ada ulat bulu kan tidak mungkin ini terjadi", kurang lebih begitulah bunyinya.
Cermati kemarahan-kemarahan lain, seperti orangtua yang marah pada perilaku anak.
Semua berawal dari ketidakmampuan orangtua mengontrol sang anak. Dengan kata lain karena ortu sudah mempunyai standart baik dan buruk dan ia ingin anaknya terbentuk sesuai standart baiknya, maka ia mencoba mengaturnya. Ortu tersebut melekat kuat pada keinginannya (baca: egonya)
Karena kalau perilaku anak seperti yang dia inginkan, maka lingkungan akan menilai dia adalah orangtua yang hebat, dan bila pujian ini terjadi, ego akan berpesta pora dan kita akan mendapat hadiah perasaan nyaman.
Bila sebaliknya yg terjadi maka muncullah marah dan mulai mencari alasan atau pembenaran bahwa anaknya lah yang nakal atau alasan lainnya.
Menemukan sekaligus menyadari bahwa semua emosi termasuk marah, sedih, gelisah, cemas adalah berasal dari dalam dan diri sendirilah yang sepenuhnya bertanggung jawab adalah penemuan besar, melebihi penemuan pesawat terbang.
Hal ini adalah bagaikan mendapat langkah besar menuju ujung perjalanan diri yaitu mengenali siapa diri sejati ini.
Dalam meditasi saya juga menemukan kegelisahan yang bersarang di dalam.
Lebih jauh saya menyadari bahwa emosi ini berasal dari penolakan saya pada luka yang ada di wajah.
Saya tidak mau wajah saya seperti ini, saya tidak bisa menerima tambahan variasi yang bertengger disamping mata kiri ini.
Kenapa saya tidak mau menerima?
Jawabannya adalah saya telah melekat pada image (baca: ego) yang telah saya ciptakan sebelumnya.
Ego tidak ingin turun pangkat, ia ingin terus berkembang seperti para ekonom yang selalu mencanangkan pertumbuhan ekonomi.
Ratusan milyard dollar setiap bulan dikeluarkan untuk dapat mempertahankan citra penduduk bumi, dari busana, kosmetik, anti aging sampai operasi plastik.
Ada nuansa ketidakrelaan ketika ingin menerima keadaan yg terjadi.
Ketakutan berkurangnya penerimaan, penghargaan, pengakuan seperti sebelumnya adalah bagaikan dosis narkoba yang dikurangi.
Tatkala menyadari semua ini, saya berbicara pada ego.
"Hi Ego yg menciptakan kegelisahanku, terimakasih atas semua hal yang telah kamu lakukan selama ini, saya sering menikmati peranmu dan menggunakanmu untuk keinginan dan kepentinganku. Dan saat ini Kesadaran telah menuntunku untuk menjelajah lebih dalam lagi dimana aku harus meninggalkanmu disini. Relakan dirimu untuk melepaskanku seperti aku membiarkanmu pergi. Sekali lagi Terimakasih dan Salam Bahagia :)".
Dialog dengan ego mungkin perlu diulang bahkan sampai belasan kali dikesempatan lain.
Bila luka di kulit saya memilih untuk menggunakan lidah buaya dan bahan alami lainnya, tulisan diatas ini adalah cara saya membereskan emosi didalam. Tentu ada ratusan cara atau jalan lainnya, silakan ikuti yang paling cocok dihati.
Setiap masalah yang hadir adalah bagaikan perangkat pertukangan yang hadir.
Dengan palu, gergaji, sekop dimana kita bisa gunakan untuk membangun rumah ego yg megah dan membiarkan jiwa terkungkung di dalamnya atau menghancurkannya dan membiarkan sang jiwa terbang bersama sayap kesadaran.
Salam sadar