"Gila ini" tiba-tiba ia berteriak memecah suasana santai, seorang kerabat tanpa memutar lehernya yang kaku memandang layar HP yang melekat di tangan kanannya.

Sejenak hening lalu ia membaca berita di kompas.com
"Gubenur Bali: Tolonglah, kalau lihat anjing liar, dimatiin saja" http://regional.kompas.com/…/Gubernur.Bali.Tolonglah.Kalau.….

Kalimat diatas memutar bayangan saya ke masa dimana rabies mulai menyeruak di pulau dewata beberapa tahun lalu.

Puluhan bahkan ratusan ribu anjing telah sukses dieliminasi, bahasa halusnya, kasarnya dibantai atau diracun.

Apakah masalahnya selesai? tentu tidak, yang ada rabies malah menyebar.

Kok bisa?

Tidak perlu logika yang dalam, kita semua sudah disuguhi pelajaran berharga dari peristiwa lampau dimana bakteri, hama atau apapun yang tidak kita inginkan 'Dibereskan' dengan cara dihabisi, dan kita semua tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Lihatlah para dokter dengan dosis antibiotiknya, petani dengan pestisidanya sementara untuk kita semua, sadarkah kita dirumah semakin hari semakin banyak kimia yang ditaburkan, baik di toilet, baju, tempat cuci piring bahkan badan kita.

Mati satu tumbuh seribu bukan hanya berlaku pada para pejuang dan pahlawan negara, kuman dan hama yang mati karena perang dengan kimia mungkin sekali adalah pahlawan bagi mereka.

"Tak pernah ada dalam sejarah dunia, bahwa rabies hilang di sebuah negara dengan cara membunuh anjingnya", kurang lebih begitulah kata Professor dokter ahli rabies yang jasanya digunakan oleh WHO yang kami temui di Thailand.

Saya percaya bahwa kalimat diatas tersebut bisa diaplikasikan pada banyak hal dalam berbagai bidang baik hewan atau manusia, termasuk hukuman mati bagi mereka yang mengedarkan narkoba.

Sumbernya bukan di pengedarnya, bahkan bukan di narkobanya tapi apa yang membuat mereka yang menggunakan mencarinya?

Membunuh adalah respon dari otak tua atau yang sering disebut otak reptil, adalah cara tergampang, dan kita juga semua tahu apa yang gampang pasti ada harga dibaliknya.

Di dunia ini hukumnya sudah jelas, kalau kita memperoleh berlebih dengan cara yang mudah tentu ada sesuatu yang perlu kita bayar dikemudian hari.

Disisi lain kata "Liar" seolah anjing atau makhluk hidup lain haruslah dimiliki manusia, kalau mereka memilih untuk bebas, kita boleh melakukan apapun pada mereka.

Kita seakan kembali pada jaman perbudakan, bedanya saat itu manusia sebagai piaraannya, dan saat ini hewan.

Budak tidaklah mempunyai hak, kalau hari ini ada yang mencuri hewan atau membunuh, hukumannya bukan karena hewan yang dihilangkan nyawanya melainkan menghilangkan kepemilikan dari orang lain.

Bagi logika sebagian besar penduduk bumi ini, semua ini memang sudah jadi kewajaran, sama dengan perbudakan manusia di abad lalu yang dianggap sangat wajar dan tidak ada salahnya.

Henry Louis Bergson yang pada tahun 1927 menerima nobel kesusastraan pernah berujar, "Makhluk manusia seharusnya tidak di sebut Homo Sapiens, makhluk yang berpikir, tapi Homo Faber, Makhluk yang membuat / memiliki benda”.

Dalam bahasa inggris pun kita menyebut manusia dengan Human Being, bukan Human Having.
Menjadi apa bukan mempunyai apa.

Berpikir adalah berkreasi bukan bereaksi, saya percaya manusia disebut makhluk paling mulia karena mempunyai otak berpikir (neo cortex) yang lebih besar daripada makhluk lain, dimana di otak inilah kapasitas cinta kasih dan welas asih berada.

Kita bukanlah penguasa alam ini yang boleh melakukan apapun, kita diberi berkah mempunyai kecerdasan tapi juga sekaligus tanggung jawab untuk memelihara, merawat serta mengasihi semua makhluk.

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.

Semoga Semua Makhluk Hidup Berbahagia.