Akhir-akhir ini kita sering mendengar kata "Legowo" dan sebagian besar atau hampir semua yang mengatakan adalah pihak yang sedang lega akan kemenangan yang baru dicapai.


Bagaimana kalau keadaanya dibalik, yang menang menjadi kalah, bisakah kita menerima keadaan tersebut seikhlas seperti yang kita ucapkan?



Menerima kekalahan, kemunduran, ketidaktercapaian atau kejadian sejenis adalah sulit, bukan karena faktanya sulit, tetapi karena kita tidak pernah melatih menerimanya.



Sejak kecil Ortu tidak ingin kita menderita, mereka menghibur anaknya yang sedang dirundung duka. 


Mereka membelikan kita coklat ketika kita sedih, menyalahkan dan memukul lantai sewaktu kita jatuh, memotivasi kita untuk mengejar rangking 1 disaat kita kecewa karena mendapat no 2, meminta kita melupakan kejadian buruk yang baru kita alami, mengajak kita sibuk melakukan hal lain, mengalihkan perhatian kita tatkala kita kecewa dan banyak hal lainnya.



Untuk apa orangtua melakukan itu semua?,
Agar anaknya berbahagia?


Memang sekilas seperti itu, bahwa semua yang dilakukan ortu tujuannya untuk anak, namun bagi yang sudah menjadi orangtua dan mau menjawab jujur, semua itu dilakukan bukan semata untuk si anak, melainkan hal yang lebih utama adalah karena ortu tidak nyaman dengan perasaanya sendiri.


Karena ketidakmampuan orangtua menerima ketidaknyaman dirinya ketika melihat anaknya sedih atau kecewa maka ia mencari sesuatu agar hatinya nyaman.



Apa yang dilakukan kebanyakan orangtua secara tidak langsung adalah melatih anaknya untuk melawan, mengalihkan perhatian atau memendam emosi yang sedang hadir.


'Pergilah makan ketika kau kecewa',
'Sibukkan diri ketika kau sedih',
'Jangan pikirkan hatimu yang sedang patah ini',
'Jangan mau kalah dengan yang lain', begitulah kurang lebih pesannya.


Latihan ini sudah kenyang kita lahap dihari-hari kecil kita.


Ini bukan masalah benar dan salah, kita semua, termasuk orangtua kita tidak pernah belajar atau diajarkan apalagi melatih diri untuk menerima kesedihan, atau kekecewaan.


Menerima emosi apalagi yang sering disebut 'Emosi negatif' bukanlah hal yang populer disini.
Sebagian besar bahkan tidak mengetahuinya.



Menerima kesedihan bukan berarti kesedihan yang dilupakan, memeluk kekecewaan tidak sama dengan memendamnya dengan kesibukan lain.



Menerima, memeluk, dan bersahabat dengan ketidaknyamanan adalah menyadari kehadirannya, menemani kekacauan yang ada didalam, dan merasakan pergulatan yang berbenturan.


Memang tidak nyaman, secara naluriah kita ingin menghindari hal tersebut, bagaikan ketemu orang yang kita benci, buru-buru kita memalingkan muka atau langsung meenjauh.


Namun harus kita sadari, berapa ribu mil pun kita menjauh, itu tidak akan menghilangkan rasa benci pada orang tersebut, karena kebenciannya bukan berada pada makhluk tersebut, melainkan tumbuh didalam hati ini.



Banyak sahabat yang menyebut saya ini gampang menerima kejadian yang bertolak belakan dengan harapan, semisal saya merasa baik-baik saja ketika mengetahi HP saya hilang atau semua data yang ada laptop saya terhapus.


Orang disekitar saya tegang dan panik mendengar hal tersebut namun saya dapat menerima kejadian tersebut.


Banyak yang salut dengan 'Kematangan' saya menghadapi situasi 'Sulit' tersebut.



Sejujurnya sama sekali saya tidak bangga apalagi merasa hebat.

Sebaliknya di status ini saya akan membongkar rahasia yang bagi banyak orang mungkin adalah kelemahan yang memalukan.



Sejak kecil saya mendapati diri saya dicemooh dengan kata 'Ceroboh', bahkan sampai saat ini sering sekali saya meletakan barang dan lupa membawanya kembali, alias meninggalkan barang di berbagai lokasi umum.


Alhasil benda-benda itu sering kali dimiliki orang lain yang saya tidak kenal, itu membuat perasaan saya tidak nyaman.


Awalnya saya marah dengan diri saya yang 'Sembrono' ini, saya bersumpah untuk lebih teliti namun semakin kuat saya berusaha semakin tegang diri saya dan semakin banyak barang yang tertinggal.

Mulai dengan cara lain, yaitu mengalihkan perasaan dengan kegiatan lain, dan rasanya cukup berhasil namun hati kecil mengatakan bahwa ini bukan cara yang benar.



Di kelas meditasi, sang Guru meminta peserta untuk menyelam dan menerima apapun yang terjadi pada pikiran dan tubuh ini, dan disanalah saya mulai memahami dan melatihnya.


Kejadian kehilangan ini masih terus terjadi, namun setiap kali kehilangan saya tidak lagi marah dan mengalihkan perhatian namun duduk dan hadir dengan kekecewaan dan kesedihan yang bertamu.


Karena seringnya saya meninggalkan barang maka implikasinya adalah semakin sering juga saya diberi kesempatan untuk berlatih.



Sekarang saya menyadari bahwa yang namanya kesedihan, kemarahan, kekecewaan, ketakutan, semua adalah berkah. 


Mereka bertamu untuk melatih hati ini, sayang jika kesempatan untuk melebarkan kalbu ini kita sia-siakan dengan tidak menerimanya.