Jempol Bagi yang Memuji dan Mengkritik
Bila kita memberikan jempol pada yang memuji, pastikan kita juga memberi jempol pada yang mengkritik diri ini.
Menyadari keberagaman pada otak yang telah didoktrin keseragaman oleh sekolah, lingkungan apalagi keluarga adalah sebuah tatangan yang cukup berat.
Saya mengalami hal tersebut, sakit hati tatkala ada yang mengkritik, tidak nafsu makan ketika ada yang mejelekkan atau tidak bisa tidur disaat ada yang menghujat.
Sebelumnya saya berusaha untuk melakukan sesuatu diluar, seperti menjelaskan pada yang mengkritisi, atau melakukan aksi-aksi yang bertujuan agar mereka yang tidak suka pada saya menjadi sadar bahwa apa yang dilakukan adalah salah, namun acapkali berakhir dengan kekecewaan yang mendalam.
Sampai saya sadar bahwa yang sakit ada didalam, yang tidak nyaman adalah situasi bathin saya, jika saya tidak masuk dan membereskan kegelisahan yang di dalam maka sampai kapanpun ketidaknyamanan akan tetap bercokol di dalam.
Di dalam, ketika berniat membereskan ketidaknyaman, pelahan-lahan saya mendapatkan renungan yang mencerahkan, paling tidak bagi saya sendiri.
Saya mulai menyadari bahwa apapun, bahkan sebaik apapun yang kita lakukan pasti ada yang tidak setuju, namun yang tidak setuju bukan berarti lawan dari kebaikan.
Seperti bila berjalan atau berlari menuju barat pasti kita akan merasakan angin dari timur yang menerpa kita, begitu sebaliknya bila kita menuju timur, dari barat lah angin kita rasakan.
Kita tidak perlu menyalahkan angin, apalagi diri sendiri, walaupun angin yang berlawanan menghambat kecepatan kita namun jangan dilupakan bahwa ia juga memberi kesejukan pada kulit ini.
Lebih dalam lagi saya menemukan bahwa bukan tugas saya untuk merubah seseorang apalagi sebuah kelompok.
Salah satu tugas penting saya adalah merubah diri sendiri untuk lebih dapat menerima diri ini.
Menemukan bahwa ada kebenaran yang sama derajatnya pada orang lain, tidak perduli itu adalah kawan atau lawan adalah bagaikan menemukan oase ditengah gurun.
Lelah rasanya berdebat dan merasa lebih benar, lebih hebat bahkan lebih mulia dari yang orang yang didebat.
Tujuan debat tentunya macam-macam, ada yang mencari titik temu, ada juga yang mencari kebenaran diantaranya namun tidak sedikit pula yang menginginkan kekalahan dari lawan.
Hampir semua perdebatan berakhir dengan genggaman yang lebih kuat pada keyakian sebelumnya.
Kita tidak mengusung lagi dialog yang digagas oleh Socrates, dimana dalam dialog selalu ada ruang yang sengaja di kosongkan untuk menampung dan menyetujui gagasan dari pihak lain.
Dalam hal ini saya mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Prabowo Subianto dalam beberapa debat Capres yang menyetujui ide-ide dari Joko Widodo.
Sangatlah wajar dalam perjalanan banyak yang merasa jalannya paling benar, saling mempengaruhi, membujuk bahkan ancamanpun terjadi, namun semua perdebatan mencair menjadi senyuman indah ketika kita sampai dirumah yang sama.
Mereka yang mendaki dari utara sangatlah wajar berdebat dengan yang mendaki dari selatan, namun mereka akan berhenti bicara sewaktu bertemu di titik puncak yang sama.
Tidak salah bila Guru bijak Lao Tzu berkata "He who knows does not speak, he who speaks does not know" mereka yang sudah mengetahui tidak bicara, mereka yang tidak mengerti seperti diri ini masih banyak bicaranya.