Beberapa hari lalu saya diminta untuk berbagi di sebuah pantai di Bali, oleh sebuah perusahaan raksasa, yang membuat kaget adalah bahwa acara itu hanya akan di hadiri 8 orang yang berada di puncak perusahaan tersebut.



Sehari sebelumnya Corporate secretary perusahaan tersebut meminta saya untuk membawakan tema tentang perjalanan menurun mirip dengan matahari yang pada saat itu memang akan tenggelam.



Sebuah permintaan yang lain daripada yang lain, selain tempat, jumlah yang mendengar, juga jabatan tentu topik yang tidak biasa bagi sebuah perusahaan yang sedang berkembang pesat.



Ini menjadi sebuah tantangan, bahwa dalam 24 jam saya harus merubah materi juga mindset yang telah tertanam lama.


Berbicara tentang melepas, berserah, pasrah, pada sahabat-sahabat yang sedang berada di tenda pengungsian, di rumah sakit, panti asuhan atau panti jompo tentu bukan suatu hal besar mengingat ini sering saya lakukan, namun berbicara menua yang indah pada bapak-bapak ini membuat pikiran saya agak konslet sedikit.



Sepulang dari acara, saya bergegas ke Singaraja untuk bermeditasi dengan istri dan anak yang sudah menunggu disana.

Selama perjalanan pikiran saya menjadi galau bukan karena acara itu tidak sukses, terlihat mereka senang dengan apa yang disampaikan terutama ketika semua terlibat dalam beberapa permainan, namun bathin ini resah karena ada bagian yang mengatakan keinganannya "Seharusnya kamu menyampaikan cerita-cerita dengan nilai yang lebih dalam pada mereka, orang-orang yang mempunyai pengaruh tersebut"

.

Menarik sekali, bahwa saya ingin berbicara tentang melepas, alias tidak melekat namun sesaat setelah acara, kekacauan pikiran saya berasal dari sebuah penyesalan yang tak mau saya lepas. 



Kendaraan sudah berjalan lebih dari satu jam, di kesendirian saya melewati danau dan bukit, kegaduhan pikiran ini semakin menjadi, muncul bagian lain yang "Terlihat" bijaksana mengatakan, "Bin, seharusnya kan kamu tahu bahwa apa yang terjadi adalah yang terbaik, maka sudahlah lepaskan keinginanmu untuk merubah masa lalu yang tak mungkin itu"

, ada dua "Seharusnya" bercokol dikepala yang membuat benak ini ruwet.


Pikiran berbenturan ini menjadi penderitaan.

Tentu yang membuat penderitaan ini bukan kejadian yang telah berlangsung, bahkan bukan pikiran yang sedang bertempur , melainkan penolakan diri saya pada pikiran yang sedang beradu ini.


Saya tidak ingin konflik itu ada, saya ingin menendangnya keluar, dan seperti yang pasti terjadi.

Semakin kuat usaha saya menolak, semakin melekat kuat mereka dalam diri saya.



Tiba-tiba tangan menyentuh peralatan audio, menyalakan radio, lagu dan mode lainnya, saya tahu ini adalah cara bagaimana pikiran ingin mengalihkan perhatiannya, dan berharap suatu saat akan lupa.


Namun saya sadar bahwa tindakan mengalihkan perhatian ini sama artinya dengan memendam masalah yang suatu saat akan meledak bagaikan ranjau yang terinjak.



"Hadirlah bersama ketidaknyamanan itu Gobind" kata guru di dalam sewaktu saya bermeditasi, yang mengingatkan saya pada apa yang dikatakan Guru Gede Prama "Ketika bongkahan salju jatuh, laut tidak menolaknya melainkan memeluknya dengan lembut, lama kemudian pelahan-lahan es yang keras tersebut melunak dan mencair menjadi sifat aslinya lalu bergabung di samudra biru"

.

Bongkahan es adalah pikiran yang keras nan kaku, ia terbentuk dari genggaman keinginan diri yang kuat, ditambah lem kemelekatan ia menjadi semakin padat, wajar bila ia sering berbenturan dengan lainnya, apalagi kita tendang, tidak tertutup kemungkinan kaku dan keras itu membuat luka yang dalam pada bathin ini.



Belajar untuk meningkatkan kemampuan dalam mencapai tujuan, mengejar keinginan menggengam impian, atau menggapai hasrat, bukanlah hal tabu, namun bila semua ini tidak dibarengi dengan kemampuan yang setara dalam menerima dan bersyukur pada apapun yang terjadi, maka kita akan seringkali terhempas pada ombak kekecewaan dan ketidakpuasan.



Siapa diri kita ini?,

Setitik debu dari titik debu semesta tapi berani menentukan “Harus dapat” pada keinginan diri.



Sudah waktunya kita mengurangi aktivitas mengatur, menekan, mengontrol.


Sudah waktunya kita mengsinya dengan menerima, memberi ruang, menyaksikan tanpa penghakiman, ikhlas dan berserah seutuhnya.