Melihat Keindahan
Sudah tidak terhitung jumlah uang yang dikeluarkan oleh manusia untuk mendandani dirinya agar keliatan cantik.
Bila dibandingkan, konon jumlah ini melebihi dari jumlah uang yang dikeluarkan untuk pendidikan.
Ini menyedihkan sekali, ya tentu tidak ada salahnya dengan tampil cantik, walaupun banyak yang tahu bahwa apa yang disebut cantik, jelek, bagus atau buruk adalah bentukan sosial yang merupakan semacam kesepakatan dari komunitas.
Sebelum saya meneruskan bahasan ini, ijinkan saya berbagi sebuah cerita pendek yang sarat makna.
Seorang pemuda sedang melihat matahari yang terbenam ketika seorang petani datang dan menghampiri seraya berkata "Apa yang kamu lihat? Kamu kelihatannya seperti terpesona." Dan Pemuda itu menjawab, "Saya memang terpesona oleh keindahan."
Dan Petani yang malang itu datang setiap senja hari mencari keindahan; "Dimana keindahan", tanyanya.
Ya, dia dapat melihat matahari, dia dapat melihat awan, dia dapat melihat pohon-pohon, tetapi tidak melihat keindahan.
Dia tidak sadar bahwa keindahan itu bukan benda, keindahan adalah cara untuk melihat benda.
Cerita ini mengingatkan saya pada iklan Dove terbitan luar negeri, walau saya sudah bertahun-tahun meninggalkan semua produk kimia termasuk sabun, saya sangat mengapresiasi iklan ini.
Iklan ini bercerita tentang beberapa wanita yang diminta untuk menggambarkan dirinya dengan kata-kata pada seorang pelukis yang tidak melihat wanita yang dilukisnya tersebut.
Beberapa saat kemudian seseorang yang lain diminta menggambarkan wanita yang sama yang sebelumnya dilukis juga dengan kata-kata pada pelukis yang tetap tidak melihat objek lukisannya tersebut.
Lalu hasil lukisan tersebut dibandingkan, dan hasilnya adalah hampir semua lukisan yang digambarkan orang lain memiliki kemiripan lebih tinggi dan lebih cantik secara normatif daripada yang digambarkan oleh sang pemilik wajah.
Dalam kesimpulan sederhana, iklan itu ingin menunjukkan bahwa kita seringkali melihat diri kita lebih rendah atau lebih jelek daripada orang lain memandang diri ini.
Stephen Covey pernah berujar "The way we see problem is the problem"
Cara kita memandang masalah itulah masalahnya.
Kita sibuk mendandani permukaan bukan untuk menjadi cantik namun agar terlihat cantik.
kita membingungkan pandangan orang lain, kita berusaha menyirami daun agar terlihat hijau sementara membiarkan akar didalam tetap kering.
Selama kita tidak mengubah diri didalam, kita terus akan merasa haus akan pujian, penerimaan, penghargaan, penghormatan dan sejenisnya. Menjadi cantik adalah menjadi apa adanya, melihat diri sendiri dan orang lain seperti dahulu ketika kita masih kecil dimana topeng masih belum setebal sekarang.
Layaknya orangtua melihat bayinya yang baru lahir, walaupun buah hatinya penuh lipatan di kulitnya ditambah bercak darah dimana-mana namun sang Ortu melihat kecantikan yang luar biasa.
Ketika anak mulai besar kita menempelkan topeng berupa label "Nakal", "Suka membantah", "Pemarah" , "Gemar menangis" , "Manja" , dan ribuan hal lainnya sampai suatu hari Ortu tidak melihat anaknya lagi.
Hal yang sama juga dengan pasangan hidup kita.
Masih ingatkah bagaimana Anda memandang dengan penuh pesona pada orang yang menjadi teman hidup Anda sekarang?
Apakah Anda memandang dengan keindahan yang sama?
Dan bagaimana dengan diri kita sendiri?
Masihkah kita ingin menjadi kolektor atau produsen label yang akhirnya kita tempelkan pada diri ini sendiri?
Semua pertanyaan ini tidak perlu dijawab namun lebih pantas untuk direnungkan di hari istimewa ini.
Selamat hari Kartini