Saat ini bunga mawar sudah bertebaran dimana-mana.
Tentu sangat mudah membeli dan memberi bunga tersebut untuk kekasih dimasa kasmaran sedang pasang gelombangnya.


Tidak usah juga ditanya mengapa mereka kemana-mana bergandeng tangan serta ber romantic dinner di hari Valentine.



Jatuh cinta adalah jawabannya.

Tidak perlu mendefinisikan Cinta atau pentingnya mengetahui alasan kenapa cinta bisa jatuh,
yang jauh lebih penting ditanyakan adalah "Kemana kah Cinta merangkak naik meninggalkan kejatuhannya setelah beberapa lama berselang?"



Bukan hanya kehambaran saja yang mengisi kekosongan hati setelah ditinggalkan Cinta namun kemarahan dan kebencian sering sekali menjadi penghuni tetapnya.



Semua ini sangat wajar terjadi, karena apa yang dianggap Cinta oleh sebagian besar Pecinta bukanlah Cinta, melainkan kriteria yang terpenuhi.


Saya mempunyai kriteria di otak saya tentang wanita yang akan menjadi pendamping hidup saya, tatkala saya bertemu dengan wanita dengan tinggi badan, warna kulit, panjang rambut, cara berbicara, cara berpikir, agama dan ratusan hal lainnya sama dengan kriteria yang saya inginkan maka "Cinta" hadir.


Begitu kriteria ini berangsur-angsur lenyap, "Cinta" pun memudarkan dirinya.



Rumi pernah mengatakan "From Understanding Comes Love"
"Dari Pemahaman, Cinta hadir"

"Pemahaman tentang apa?" itu pertanyaan plus kebingungan saya ketika pertama membaca kalimat Rumi tersebut, berbulan-bulan kemudian titik terang mulai terlihat ketika membaca apa yang di sampaikan Albert Eistein "Our separation of each other is an optical illusion of consciousness."
"Keterpisahan dengan yang lain adalah ilusi dari kesadaran".

Siapa yang memisahkan kita dengan yang lain?
Ego adalah jawabannya.

 Ketika ego menyelinap, ia memisahkan antara diri sendiri dan lain, dan keterpisahan ini pelahan-lahan memudarkan energi yang sebelumnya terhubung.


Untuk mempertahankan energinya, ego menciptakan peran agar mendapat penghargaan, pengakuan, penerimaan atau jenis-jenis energi dari luar lainnya.


Ketika ego tidak mendapatkan energi, ia mulai menekan dan menuntut.


Bila sebelumnya kita membiarkan orang lain tumbuh secara organik, setelah hadirnya ego kita mulai melihat pasangan, anak atau orang lain dengan keharusan yang kita inginkan, disini biasanya terjadi gesekan dan luka yang mendalam.


Selama luka ini belum tersembuhkan selama itulah kemarahan dan kebencian menggenangi bathin ini. 



Disaat seseorang mampu terlepas dari segala egonya dan merasakan keterhubungan dengan orang lain bahkan ia kehilangan dirinya sendiri, disanalah Cinta menjemput seperti yang pernah diceritakan oleh Attar dari Neishapur:
Seseorang yang sedang jatuh cinta mengetuk pintu rumah kekasihnya. 'Siapa?' tanya sang kekasih dari dalam. 'Aku,' kata orang itu, 'Pergi sajalah! Rumah ini tidak akan muat untuk kau dan aku.'


Orang yang cintanya ditolak ini pergi ke padang gurun.
Di sana ia merenung selama berbulan-bulan, memikirkan kata-kata kekasihnya. Akhirnya, ia kembali dan mengetuk pintu rumah kekasihnya lagi.

 Siapa yang mengetuk itu? 'Engkau!'

 Segera pintu dibukakan.



Bunda penuh Welas Asih, Mother Theresa pernah berujar 
"If we have no peace, it is because we have forgotten that we belong to each other"
Jikalau kita tidak memiliki kedamaian, itu karena kita telah melupakan bahwa kita saling memiliki.

Senada dengan apa yang di katakan Muslih –Ud-Din Saadi "Semua putra Adam adalah anggota tubuh yang sama."
Kesadaran terhubung ini membawa kita pada level yang tak mungkin terjangkau oleh kebencian, mirip seperti tangan kanan yang menggaruk tangan kiri hingga luka.


Tangan kiri tidak mungkin marah pada tangan kanan, karena ia sadar bahwa tangan yang menggaruk adalah bagian dari dirinya sendiri.


Di India ada istilah Vasudhaiva Kutumbhakam, semua makhluk bersaudara.

Ya kita semua diciptakan oleh tangan yang sama, tangan yang penuh dengan Kasih, kita semua tanpa terkecuali adalah percikan dari Cinta Ilahi yang tak terhingga, oleh karenanya sangat tidak masuk akal bila kita tidak saling mencintai.