Seorang pembicara tersohor diundang kesebuah kota kecil oleh sebuah perusahaan raksasa.


Seorang pengemudi menjemput dari airport, mengantar, serta melayani selama 2 jam perjalanan ke kota kecil tersebut.


Setelah mencerahkan 100 orang jajaran manajer dan direksi selama 2,5 jam, molor 30 menit dari waktu yang di tentukan, pembicara ini kembali ke airport dengan tumpangan yang sama dan pengemudi yang sama.


Tidak banyak interaksi terjadi selama kurang lebih 4 jam perjalanan dari dan menuju airport tersebut, hanya sedikit basa-basi, sisanya adalah suara mobil dan sesekali klakson.



Cerita biasa diatas ini memang lumrah terjadi dan memang sangat normal dalam kehidupan ini.
Lalu.. 
Sadarkah kita bahwa 100 orang dalam ruangan tersebut menyerap dan bertanya dengan antusias pada pembicara yang dibayar ratusan juta untuk kebijaksanaan yang kurang lebih mereka sudah mengetahuinya.


Sementara sang pengemudi yang berduaan di dalam kabin mobil bagai kursus privat 4 jam tidak menuai apapun.
Memang Ironis, Ironis yang sudah berwujud kenormalan.



Mungkin ada yang mengatakan "Sayang Sekali tidak memanfaatkan kesempatan".
Yang lebih keras mungkin akan meng-goblok-goblokan pengemudi yang menyia-nyiakan kesempatan emas yang ada.



Namun coba lihat, bukankah kita semua melakukan hal yang sama dengan sang pengemudi itu?



Berapa banyak orang tua yang menyampingkan waktu dari membereskan printilan-printilan yang tak mungkin beres sampai kapanpun juga itu, lalu mengisinya dengan belajar pada manusia kecil dengan kebijaksanaan besar yang dititipkan padanya?



Di jaman ini, berapa banyak orang yang sengaja mereduksi bentangan fokusnya dari mencari materi, untuk kemudian menggantinya dengan mendengarkan pelajaran besar dari Semesta yang tak terhingga?



Air yang selalu ingin tampil rendah, angin yang super fleksibel, matahari yang tidak menghakimi, apakah kita meneladani mereka?



Kita bahkan sering tidak sadar untuk berbahagia, yaitu hadir di saat ini, pikiran kita yang sibuk menoleh ke depan dan kebelakang dengan cepat sampai-sampai membuat kita tidak merasakan udara yang masuk dan keluar dari lubang hidung.



Setiap orang menyayangkan bisnis yang gagal, pelanggan yang lari, barang yang hilang, namun jarang yang menyesalkan karunia yang tak ternilai yang sering terlewatkan yaitu sadar hidup di dunia yang indah dan sadar memiliki kesempatan menjadi makhluk termulia.



Tugas mengemudi sampai di airport dengan selamat adalah tugas kecil dibanding pengalaman dan pelajaran selama perjalanan, begitu pula tugas kita sebagai manusia tentu bukan mengumpulkan pundi-pundi yang akhirnya kita tinggal juga.


Kita telah dikaburkan dengan slogan hidup yang bertujuan, artinya mempunyai misi, mempunyai target, mempunyai goal berupa angka atau pangkat. 


Gibran berkata “Manusia yang paling pantas dikasihani adalah dia yang mengubah mimpi-mimpinya menjadi emas dan perak"

.

Sadari, bahwa kita semua adalah pengemudi itu, kita adalah kesadaran yang membawa kendaraan yang bernama raga, serta sang Jiwa Bijak ada dan selalu ada didalam diri ini.


Ketika pikiran terfokus pada tujuan saja, kita akan kehilangan keindahan dan kebijaksanaan sepanjang perjalanan.


Cepat atau lambat kita semua akan sampai ke bandara kematian yang kemudian mengantakan kita ke dimensi yang berbeda, namun yang penting adalah selama mengemudi hadirlah disini dan saat ini sehingga keindahan dunia akan tampak berkilau; dan yang lebih penting lagi selalu dan selalu sadari kehadiran sang Bijak di dalam, ajak Ia berkomunikasi dan serap ilmunya, sampai akhirnya menyadari siapa sejatinya Diri ini.