Tersenyum dalam hati ketika mendengar Bu Guru SD menerangkan kalau di Jakarta ada Pasar yang benama Pasar Senen, Pasar Minggu, Pasar Rabu dan lainnya, dalam hati, "Memang ngga ada nama lain?"

Setelah beberapa waktu baru mengetahui, bahwa namanya Pasar Senen karena dahulunya memang bukanya hari Senin doang.

Kenangan diatas muncul ketika bersiap ke Ubud Organic Market (UOM). Secuplik tempat di pelataran semi outdoor sebuah restoran, yang awalnya buka hari sabtu saja lalu ditambahkan hari Rabu.
Mungkin semua pasar awalnya begini, dimulai dari kecil dan cuma sehari dalam seminggu.

Di UOM kami tidak hanya belanja komoditas atau produk organik, karena saling kenal, kami bertegur sapa baik ke pedagang maupun pengunjung lainnya.

Setiap pengunjung membawa tas belanja sendiri, sehingga penggunaan kresek dapat dikurangi.

Berbagi berita dan informasi tentang lingkungan juga belajar sesuatu yang baru adalah dua hal yang pasti kami lakukan.

Sabtu lalu saya kembali belajar secara lisan bagaimana mencambahkan kacang hijau.
Pelajaran pedagang itu menarik saya ke memori di bangku sekolah ketika guru menerangkan hal yang sama, dan yang kedua saya belajar membuat susu almond dari seorang staf yang bekerja di sebuah healthy cafe di ubud.

Maklum sejak menjadi vegan yang artinya menyetop semua produk hewani termasuk susu sapi, ketertarikan terhadap susu nabati meroket.

Selain itu kesempatan datang ke UOM juga kami manfaatkan sebagai saat untuk mengembalikan wadah kemasan yang bisa digunakan kembali oleh pedagang tersebut.
sabtu lalu ini senang sekali kami bisa mengembalikan 11 kemasan botol kaca pada penjual langganan kami.

Meringankan bumi tentu adalah alasan pertama namun yang tak kalah utama adalah kami ingin mempraktekkan sekaligus melatih, juga merasakan sukacita.

Sukacita atau joy, sahabat di Bali dan pengikut Buddha menyebutnya dengan Mudita, yaitu Senang Melihat pihak lain Senang, bukan sebaliknya Susah Melihat orang lain Senang atau Senang Melihat orang lain Susah, walaupun singkatannya sama-sama SMS.

Kemampuan Sukacita ini telah tertanam di dalam diri setiap manusia, para ahli percaya bahwa kemampuan ini berada pada otak bagian atas atau sering disebut otak baru (Neo Korteks), bersamaan dengan kemampuan logis, memilih makna, juga kemampuan transendental lainnya.

Memang dalam sudut tertentu Sukacita mirip dengan Empati yaitu merasakan apa yang dirasakan pihak lain, kalau empati biasanya pada emosi kesedihan, kekecewaan atau kegelisahan sementara muditacita adalah sebaliknya.
sementara dalam prakteknya bermuditacita terasa lebih memerlukan latihan.

Jangankan orang dekat, orang jauh bahkan musuh pun bila terkena musibah, perasaan sedih terkadang merayap naik, namun bila musuh sedang berjaya susah sekali bagi kebanyakan orang untuk ikut juga berbahagia,

Seperti kemampuan lainnya yang lahir lewat latihan begitupula seseorang yang ingin mencapai kesadaran Joy ini tentu memerlukan pengulangan intens, kalau tidak ia hanyalah sebuah potensi.

Mengembalikan botol secara logika yang biasanya tersambung dengan hitung-hitungan materi tentu tidak ada untungnya, saya tidak mendapat uang malah mengeluarkan tenaga dan bensin untuk ketempat tersebut, namun secara perkembangan jiwa dalam melatih otot "senang melihat orang lain senang" perbuatan ini sangatlah berarti.

latihan lain yang biasa kami lakukan ketika pikiran teduh adalah merasakan girangnya nyamuk yang mendapatkan darah dari tubuh ini.
Mobil yang sedang bertamu ke tetangga dan parkir didepan rumah (bukan didepan pagar ya :)) adalah kesempatan lain yang baik untuk latihan.

Dan latihan-latihan kecil ini, secara pelahan dan bahkan sering kita tidak sadari menggeser kita ke sebuah daerah dimana kita ikut bahagia ketika kompetitor atau pesaing kita mendapatkan rejeki.

Kita ikut merasakan bahagia ketika Malaysia memenangkan pertandingan sepakbola melawan Indonesia.

Disini kita akan sadar sepenuhnya bukan secara intelektual saja apa yang di katakan Jesus "Cintailah musuhmu"

Kesadaran ini meluaskan bathin sekaligus mengikis ego kita, ego Indonesia kita rontok seperti 100 tahun yang lalu dimana ego Indonesia tidak ada, juga tidak adanya ego kristern 2000 tahun lalu, ego Hindu dan Buddha beberapa ribu tahun yang lalu.

Kita mulai merasakan Vashudeva Kutumbakam, istilah di India untuk "kita semua bersaudara"

Kita semua adalah putra Adam, seperti yang dikatakan seorang yang tercerahkan Muslih –Ud-Din Saadi
"Semua putra Adam adalah anggota tubuh yang sama. Saat satu anggota menderita, yang lain juga menderita. Kalau kau tak perduli dengan penderitaan orang lain kau tak pantas disebut manusia."

Ketika kita melukai orang lain, kita melukai diri sendiri dan ketika kita memberi kebahagiaan pada orang lain sejatinya kita memberi kebahagiaan pada sang jiwa di dalam.