30 Sept. Menanam Kebencian
Bangun dipagi hari, melihat tanggal hari ini, langsung teringat sebuah hari di waktu SD dimana sekolah diliburkan dan seluruh murid diboyong menuju gedung bioskop mewah yang tak jauh dari sekolah.
Menonton film wajib yang berisikan bedil, tentara, darah, mayat yang tercabik, dan kalimat yang selalu tertancap sampai sekarang "Darah itu merah Jendral".
Saya sungguh tidak tahu dan tidak juga ingin membahas benar tidaknya cerita yang terputar di film yang mendapat penghargaan piala citra sebagai film yang paling banyak ditonton di FFI tahun 1984.
Namun saya sempat penasaran dengan apa yang menjadi motivasi para pembuat kebijaksanaan saat itu sehingga anak-anak yang tumbuh dengan ceria diwajibkan meonoton kekerasan, kekejaman, politik praktis dan drama kehidupan yang membara.
Apapun motivasinya, sebuah program kebencian telah terbenam dalam mereka yang melihat (terutama anak-anak yang tidak tahu menahu).
Saya ingat bagaimana saya keluar dari ruang gelap bioskop dengan menggendong kemarahan yang begitu besar pada suatu kelompok.
Malam ini film itu memang tidak akan diputar, sejak bergantinya kekuasaan tahun 1998, film itu stop merayakan ulangtahunnya, namun kalaupun film itu diputar kembali tentu tidak akan berpengaruh banyak, dengan kata lain film itu sudah tidak bergigi tajam lagi karena setiap hari kita disodorkan kekerasan bahkan terkadang secara Live di hampir semua media elektronik yang ada.
Pelantun tembang kedamaian "Imagine" John Lennon pernah berkata "We live in the world where we have to hide to make love, while violence practiced in broad daylight"
Senada dengan John, budayawan nyentrik Sujiwo Tejo mengkritik lembaga sensor Indonesia yang mensensor ketat setiap ciuman di dalam tayangan film namun kekerasan yang berdarah-darah di jumpai dalam berita setiap hari.
Seolah ciuman lebih nista atau lebih berbahaya daripada perkelahian.
"Coba kumpulkan 100 anak" tambahnya dengan gaya provokatif
"Tanya ke mereka berapa yang pernah melihat orangtuanya berciuman, paling 3 anak, tapi tanya berapa banyak yang pernah melihat orangtuanya berantem, pasti semua anak angkat tangan"
Hari ini, tidak pernah dalam sejarah anak-anak kita mengalami kebingungan sebesar ini,
Orangtua mengajarkan anak agar berlaku sopan namun ia memberi ijin bahkan membelikan permainan video game yang penuh dengan kekerasan.
Kita meminta anak kita menghormati orang lain disaat yang sama kita menggunjingkan, memaki, mengutuk para perampok, teroris atau koruptor dengan bahasa tajam.
Di kelas Agama, kita diajarkan mengasihi musuh, mendoakan setiap makhluk agar berbahagia, memberikan persembahan pada mereka yang ada dialam Bhur, atau mendengar kisah heroik dari Ali bin Abi Thalib yang membatalkan menghunus pedangnya saat kebencian muncul dalam hatinya, namun dirumah benih SARA disemai.
Tidak jarang anak-anak atau bahkan kita sendiri mendapati seseorang tokoh atau panutan yang mengapresiasi kepercayaan lain di sebuah forum umum sementara bertindak sebaliknya diforum tertutup.
Kita telah melupakan bahwa manusia, kelompok atau negara yang di sebut sebagai musuh diciptakan oleh tangan yang sama dengan yang menciptakan kita.
Kita sudah tidak ingat bahwa satu-satunya kekotoran yang harus dibersikan adalah kekotoran bathin kita sendiri.
Terlalu banyak waktu dan energy yang terbuang untuk memupuk kebencian dan terlalu sediikit cinta di sebar setiap harinya.
Jika hanya 10 % penduduk indonesia membicarakan atau memikirkan kebencian selama 5 menit maka ada 237 tahun lebih waktu berharga yang musnah.
Ralph Waldo Emerson pernah berujar "For every minute you are angry you lose sixty seconds of happiness."
"Untuk setiap menit Anda marah, Anda kehilangan 60 detik kebahagiaan."
Mungkin kita sudah sering mendengar kalimat yang mengajak kita untuk mengurangi kebencian dan memperbanyak cinta, dan tahukah Anda cara terbaik untuk mengurangi kebencian bukan mencabut, memotong, menggunduli, membakar, atau mengenyahkan kebencian, melainkan menyayangi, menaburkan kasih, menambahkan cinta dan mengasihi rasa benci itu.
Kebencian hanya eksis dalam diri ini, ia bagaikan luka yang menganga, bukan dengan kekerasan atau kekuatan melainkan siraman kasih yang lembutlah yang akan membuat bagian yang terluka itu menutup dan kembali tersenyum.