Guru Mengantri
Mengantri membayar airport tax di Bandara Ngurah Rai, seorang bapak dari Italia beserta anaknya yang bercampur darah Indonesia mengeluh dengan sopan "Mengapa banyak orang disini yang memotong antrian?"
"Mereka melakukan itu agar kita bisa belajar bersabar" jawab saya.
"Jawaban yang menarik, sungguh saya tidak pernah berpikir kearah itu"
"Kita terlalu banyak mendapat teori dari Guru-Guru hebat itu" lanjut saya,
"Namun jarang sekali mendapat pelajaran dalam bentuk sebenarnya yaitu praktik, sudah selayaknya kita berterimakasih pada Guru-Guru praktek ini"
Sesampai di Bandara Soeta seseorang Guru wanita nyelonong didepan saya yang sedang menunggu bagasi, tentu saya berterimakasih padanya dalam hati ini.
Mengamati bahasa tubuh Ibu tersebut yang terlihat cemas, terpikir oleh saya bahwa mungkin sekali saya sering melakukan hal yang sama, yaitu menyerobot antrian atau melakukan tindakan sejenis lainnya namun saya tidak mengingatnya.
Mengapa? alasannya tak lain dan tak bukan adalah saya tidak sadar.
Kecemasan, kegelisahan, ketakutan, adalah buntalan tebal yang membungkus kesadaran manusia.
Saya mengasumsikan sebagian besar orang dewasa pada level intelek mengetahui bahwa mengantri adalah sebuah tindakan yang baik dan perlu dilakukan, namun pikiran yang terdorong ketakutan akan masa depan atau trauma masa lalu membuat seseorang mengabaikan saat ini.
Dengan kata lain, semua pengetahuannya tentang apa yang "Selayaknya dilakukan" terbenam oleh ketakuan atau traumanya.
Pohon kesadaran di dalam diri ini hanya tumbuh dengan siraman air praktek, membaca buku pencerahan atau mendengar dari mereka yang tercerahkan belumlah cukup membuat pohon bertumbuh.
Sehingga dengan pemahaman ini, sudah selayaknya kita berterimakasih pada mereka-mereka yang memberikan kita berpraktek kesadaran.
Antrian yang terserobot, jalur yang terpotong, sambutan dingin, bentakan, cacian, semuanya adalah Guru dalam bentuk yang berbeda, bila kita mau menyadari pesan dibalik kehadirannya, maka ia akan menuntun kita menuju taman yang indah.