"Rigpa Matic" begitu kami mencandainya ketika ada yang bertanya "Kok belum punya gigi?"

.

Satu putaran matahari Rigpa menemani kami di bumi ini, setahun juga kami mengamati ada dua pertanyaan peringkat teratas yang paling sering ditanyakan orang setelah "Namanya Siapa?" adalah "Umur berapa?" dan "Sudah bisa apa?".
Dua pertanyaan terakhir paling banyak ditanyakan oleh orangtua yang anaknya seumuran dengan Rigpa.



Ada yang merasa bangga sambil membeberkan keunggulan anaknya yang telah tumbuh giginya, berjalan dan berbicara sementara yang lain sedih karena anaknya belum mencapai kemampuan yang diharapkan.



Bertanya dengan intensi belajar tentu harus selalu dikembangkan namun bila bertanya disertai dengan niat membandingkan lalu ujung-ujungnya untuk menonjolkan "Aku" tentu perlu dipertimbangkan esensinya.



Kami jelaskan bahwa pertumbuhan anak tidak sama dengan pertumbuhan uang yang dideposito, setiap anak adalah unik begitu pula dengan perkembangan fisik dan bathinnya. 


Daripada bergulat dengan kecemasan dan ketakutan alangkah baiknya orangtua menyirami anaknya dengan welas asih dan perhatian bagi tumbuh kembangnya.



Budaya persaingan yang bersaudara kembar dengan budaya membandingkan memang telah beranakpinak didalam otak primitif manusia.


Dari kegiatan bisnis sampai dengan permainan olaraga, semboyan olimpiade Higher, Stronger, Faster telah menjadi candu dalam benak kita.


Padahal dengan mata kepala sendiri kita melihat dan mengetahui melalui penelitian bahwa mereka-mereka yang diberi cap "Orang bahagia" adalah mereka yang Rendah hati, Lemah lembut dan tidak terburu-buru apalagi bernafsu untuk mengalahkan pihak lain.



Sering saya bertanya, apakah tujuan kita mendidik dan membesarkan anak kita?

Untuk menjadi pemenang, juara, nomor satu dalam peraihan angka dan pengumpulan materi atau untuk menjadi seseorang yang selalu bahagia yang welas asih dalam tindakan, perkataan dan pikiran.



Disekolah, persaingan terwujud dalam bentuk rangking, bahkan berlaku juga secara langsung ataupun tidak pada anak TK yang belum melek angka apalagi huruf. 


Sementara dirumah orangtua seringkali membandingkan antara kakak dan adiknya atau dengan keponakannya, yang paling celaka adalah membandingkan anaknya dengan artis cilik.



Pernah suatu hari seorang anak yang sedang bersedih datang dan mengungkapkan kekecewaannya terhadap ayahnya yang selalu membandingkan dia dengan Joshua yang berpenghasilan milyaran rupiah sewaktu berusia sama dengannya, sementara dia diberi label anak yang kerjaannya menghabiskan uang bapaknya.



Saya menyarankan kepada anak itu untuk berbicara langsung ke bapaknya seperti ini "Pa, Papa tahu Obama?",
"Obama itu seumur Papa sudah jadi Presiden, Papa kok dari dulu jadi manager aja sih?" :))


Kita orang dewasa juga tidak suka dibandingkan, coba kalau saja Kartika membandingkan suaminya yang kerempeng ini dengan Brad Pitt pasti ia sudah menceraikan saya. 



Anak-anak hadir dengan kebijaksanaan lebih tinggi, sudah terlalu sering kita mencekoki mereka dengan ilmu-ilmu rendah seperti menganalisa, menginterpretasi, memberi label dan sejenisnya, sekarang waktunya belajar kembali ilmu kelas tinggi "Melihat apa adanya", menikmati hal-hal remeh, tampil sederhana, tersenyum dan tertawa tanpa alasan, tanpa ego.



Sudah cukup waktu yang dihabiskan untuk menengok dan mempergunjingkan rumput tetangga, saatnya menggali dan masuk untuk menemukan harta tak ternilai yang terkandung di taman diri ini.