"Gobind, mengapa kamu tidak memilih salah satu Agama yang ada dan mendalaminya daripada seperti sekarang ini?" kata seseorang teman yang baru beberapa jam kita berkenalan.
"Kalau kamu fokus, kamu pasti akan lebih produktif" lanjutnya.

Beberapa sahabat yang lain mengatakan "Saya percaya semua baik, namun pasti ada dong yg menurut kamu paling baik".
Ada juga yang menggunakan kata "Harus memilih", sementara beberapa gelintir orang memilih menempelkan kata "sesat" atau menakut-nakuti bahwa nanti saya tidak akan diterima oleh Pencipta setelah meninggal.

Tentu saya tidak mau mengadopsi pikiran bahwa Tuhan adalah sosok yang pemarah dan penghukum, Pencipta dibenak saya tidak ada lain selain perwujudan cinta kasih yang tak terbatas.

Bagi banyak orang saya di cap mempunyai kelemahan yang mendasar dalam memilih apa yang saya percayai, namun saya menerima kalau banyak yang tidak suka atau tidak setuju dengan kondisi saya.

Saya menduga semuanya bermula dari sejak kecil keluarga saya tidak menanamkan Agama sedalam kebanyakan orang tua pada anaknya, saya lahir di keluarga Hindu, bersekolah di sekolah Kristen, berkumpul dengan teman2 muslim dan punya sahabat baik penganut Buddha.

Di umur belasan alam "memaksa" saya untuk belajar pada hampir semua agama baik melalui kitab suci maupun dakwah, atau khotbah.

Saya mencintai semuanya, sulit bagi saya memilih diantaranya, ini mirip seperti saat ini saya diminta memilih mana yang paling saya sayangi diantara Istri atau anak tunggal saya.

Saya melihat semua keindahan yang tak terbatas pada semua ajaran agama atau kepercayaan, dan luapan kasih yang tidak bisa dibandingkan satu dengan lainnya.

Saya mencintai Muhammad SAW, sama seperti saya mencintai Jesus, Rama, Krishna, Buddha, Lao Tzu dan lainnya, bagi saya ajaran atau apa yang disabdakan adalah milik semesta dan terlalu sempit bila dibingkai dalam kotak yang benama Agama.

Semalam kami sekeluarga bertemu dengan Karen Armstrong, mantan biarawati yang menulis buku mega best seller History of God, Nabi Muhammad, Buddha, Compassion dan banyak lainnya.

Pak Gede Prama yang berkesempatan memberi sambutan pada acara gala diner semalam menyatakan kekagumannya pada Professor Karen karena ia mampu menjaga jarak yang sama dalam mengulas agama yang berbeda pada tulisan-tulisannya.

Kita cenderung untuk menempatkan posisi yang berbeda pada ajaran yang kita anut atau kepercayaan yang kita ikuti sejak lahir.

Tentu saya bahagia ketika Karen menekankan apa yang pernah saya dengar dari Bapak Anand Krishna bahwa selayaknya kita meninggalkan kata toleransi agama dan menuju ke apresiasi pada kepercayaan apapun.

Kata toleran yg dalam bahasa aslinya bermakna "To put up with" atau "Bertahan" tidaklah cocok untuk digunakan dalam berhubungan pada kepercayaan orang lain.

Dalam bahasa Indonesia "Adi mentoleransi Ida" diartikan bahwa Ida melakukan kesalahan/hal yg tak pantas namun Adi masih bisa menerima perlakuan Ida tersebut.

Apresiasi adalah menghargai, menghargai apapun kepercayaan orang di depan kita, termasuk kalau orang tersebut memilih untuk tidak mempercayai adanya Tuhan.

Menghakimi, baik secara pikiran, verbal atau tindakan bukanlah penyelesaian terbaik, malah mereka yang menganggap dirinya baik/lebih baik menjadi tidak lebih baik ketika melakukan intimidasi dengan maksud merubah kepercayaan yang dianggap salah tersebut.

Disisi lain, mereka yg diancam, dipaksa, tidak serta merta berubah, malah kecenderungannya mempunyai perasaan marah, benci bukan hanya pada yang memaksa tapi juga pada ajaran agama yang dianut orang yang memaksa tersebut.

Welas Asih adalah Jawabannya.
Welas asih yang tertanam di semua ajaran agama adalah solusi yang digadang oleh Karen Amstrong, selain bukunya yang berjudul Compassion, ia juga mengkampanyekan setiap orang untuk bergabung dan menandatangani charter for compassion (Piagam Belas Kasih) di www.charterforcompassion.org
berikut adalah paragraf pertama dari piagam belas kasih;

"Prinsip belas kasih tersemat dalam jiwa semua tradisi agama, etika atau kerohanian, dan menyeru kepada kita untuk selalu memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Belas kasih memaksa kita bekerja tanpa kenal lelah untuk menghapuskan penderitaan sesama manusia. Dan untuk melepaskan kepentingan kedudukan kita demi kebaikan dan kesejahteraan orang lain, serta untuk menghormati kesucian tak terganggu-gugat setiap orang, memperlakukan setiap orang dengan keadilan, kesamaan dan rasa hormat yang mutlak, tanpa pengecualian."

Saya tentu berharap Sahabat yang membaca tulisan ini juga segera bergabung untuk menandatangani piagam belas kasih tersebut.

Namun bergabung dan menyebarkan tidaklah cukup, kita perlu selalu mengingatkan diri kita terus menerus untuk melakukan kebaikan dan kemulyaan yang telah tertanam di dalam diri setiap makhluk, seperti yang di harapkan Karen Armstrong :
"Tugas generasi kita, tidak perduli kita umat beragama atau umat sekuler adalah membangun komunitas global, dimana orang-orang dari berbagai keyakinan dapat hidup bersama dalam harmoni dan kedamaian"