Suatu hari Mullah Nasrudin keluar dari rumah dengan menunggang keledainya, tidak seperti biasanya kali ini mullah menaiki keledainya dengan menghadap ke belakang, kearah buntut keledai tersebut.

Tidak sedikit manusia dipasar yang sebelumnya sudah menganggap orang ini aneh menjadi lebih aneh lagi.

Beberapa bertanya dan tidak dihiraukan, sebagian lagi dijawab dengan ala kadarnya "Tidak apa-apa, saya lagi iseng saja"

Namun sebagian kecil orang yang telah mengerti betul siapa Nasrudin tidak percaya kalau manusia sekelas Nasrudin melakukan sesuatu hal yang tidak umum tanpa disertai pesan yang mendalam.

Akhirnya ada seseorang mampu memaksa tokoh nyeleneh ini menjawab
"Saya tidak tertarik kemana hidup ini akan menuju" katanya "Saya hanya tertarik darimana hidup ini berasal"

Cukup lama saya memikirkan dua kalimat tokoh sufi dari Turki ini, sementara miliyardan orang pikirannya tertuju pada masa depan mengapa Nasrudin malah menghadap arah yang berlawanan?

Sempat saya bertanya pada Guru Spiritual yg pernah menyampaikan cerita ini, dan inti jawaban yg saya terima, bahwa ada banyak pemaknaan dari cerita tersebut juga cerita Nasrudin lainnya, sehingga semuanya dikembalikan pada orang yang menterjemahkannya.

Bukankah sering kita mendengar seseorang menasehati temannya yang baru melakukan kesalahan, atau mengalami pergolakan hidup dengan kalimat "Sudahlah, lupakan masa lalu, mari menatap masa depan dengan lembaran baru"

Manusia dengan segala kelebihannya belum menemukan cara untuk menghapus memori dari pengalamannya, bahkan para ahli malah menekankan bahwa semua kejadian yang manusia alami pada usia berapapun terekam secara sempurna dalam pikiran bawah sadarnya.

Tubuh dan pikiran kita hari ini terbentuk dari apa yang kita lakukan dan pikirkan sebelumnya.
Ketika sebuah kemarahan menyeruak keluar dalam bentuk kata-kata yang keras dan tajam, hendaknya kita perlu sadari bahwa kemarahan bukanlah sebuah benda asing yang kirim UFO dan tiba-tiba ada dalam diri ini, ia terbentuk dari proses panjang yang terjadi di masa lalu.

Persis seperti seseorang yang terkena serangan jantung karena terjadinya proses penyempitan pembuluh darah, serangan ini hampir pasti karena pola makan, pola pikiran dan pola atau kebiasaan lain yang sering kali tidak kita sadari.

Dalam tingkat kesadaran tertentu saya percaya bahwa bila ingin merubah masa depan hal yang perlu kita lakukan adalah merubah masa lalu.

Sahabat saya menyahut "Mana mungkin?"

Memang pada level fisik tidak ada satu detikpun yang berlalu yang kita bisa rubah namun dalam pikiran kita, kita mempunyai kemampuan untuk berefleksi dan melihat bentukan-bentukan program yang telah terinstal dan sedang berjalan.

Pernahkah Anda membenci kelompok /ras /agama tertentu?
Apakah Anda pernah bertanya darimana kebencian itu muncul?
Apakah dari sebuah pengalaman diri sendiri yang langsung berhadapan dengan kelompok tersebut, atau dari sebuah cerita yang di ceritakan berulang-ulang dari orang tua atau bahkan dari media?

Seorang teman pernah mengaku pada saya bahwa ada masa dimana dirinya pernah membenci orang india, dan lewat perenungan dalamnya, ia menemui bahwa program yang menghasilkan rasa benci berawal dari kekecewaan neneknya pada sekelompok orang india, sehingga sang nenek menularkan kesimpulan yang telah di generalisir bahwa semua orang india pada dasarnya brengsek.

Bahkan sang nenek terus-menerus mengulang kalimat populer "Bila bertemu ular dan orang india, yang harus kamu bunuh orang indianya dahulu"

Saya tertawa mendengar cerita itu. Dan seorang sahabat bingung melihat reaksi saya "Kamu tidak marah atau tersinggung Bin? kamu kan orang India?"

Sama sekali saya tidak bangga dengan tidak marahnya saya, dan sebaliknya saya tidak juga merasa rendah ketika emosi marah itu menguasai diri saya.

Disaat kemarahan hadir, atau kesedihan berkunjung, disanalah saat yang paling tepat untuk menyadari bahwa ada program yang perlu diperbaiki.

Sementara mengatakan bahwa diri ini tidak boleh marah, hanya sebuah usaha sementara, seperti membuat tembok penahan aliran sungai yang hendak ke laut.

Apa yang perlu kita lakukan adalah menerima kemarahan tersebut dahulu, semua emosi akan surut ketika kita menerimanya, lalu pelahan-lahan dengan perenungan atau meditasi coba cari asal muasal emosi tersebut, bila sudah menemukan, dengan kesadaran saat ini berilah makna yang baik pada kejadian tersebut.

Kembali ke cerita Nasrudin dengan keledainya, saya percaya apa yang dilihat kebelakang oleh Nasrudin jauh melampaui program-progam yang tertampung di bawah sadarnya.

Saya menduga seseorang dengan kebijaksanaan seperti Nasrudin telah menemukan diri sejatinya.

Orang-orang dengan tingkat kesadaran seperti ini tidak tertarik dengan kemana keledai akan menuju.

Mereka adalah orang-orang yang telah pulang, alias telah sampai di rumah.

Mereka yang berdebat, bersaing, merasa benar adalah mereka yang masih dijalan, bagi yang telah sampai tidak berbicara, seperti kata Lao Tzu, He who know doesn't speak.
He who speak doesn't know.
Dalam tataran tersebut yang ada hanyalah kedamaian dan kebijaksanaan yang terlihat lewat lengkungan senyuman tipis di bibir.