Seorang sahabat melayangkan sebuah pertanyaan: "Mengapa di Bali tempat sembayangnya seram-seram", sebelum saya sempat menjawabnya ia kembali bertanya dengan kandungan penasaran yang tinggi. "Trus kok orang bali memberikan persembahan pada yang seram-seram itu."

Pertanyaan-pertanyaan sejenis di atas ini seringkali menjelma undangan mengunjungi masa lalu, masa kecil, dimana banyak sahabat sekolah dasar saya yang bertanya mengapa orang Hindu menyembah dewa Shiva, alias dewa perusak?

Dulu saya malu sekali, bukan saja karena tidak bisa menjawabnya tapi seolah-olah apa yang di yakini leluhur, orang tua saya dan sekaligus yang di turunkan pada saya adalah kesalahan besar.

Saya sudah mencari jawabannya di orang-orang terdekat dan tentu jawabannya tidak menjawab. Saya pun loncat ke agama lainnya karena menurut pikiran saya agama yang saya pilih ini lebih masuk akal.

Sekarang saya tersenyum dengan keputusan sewaktu saya kecil itu, masuk akal atau tidak, sama sekali bukan tergantung dari kejadian luar tapi data yang ada di dalam pikiran ini.

Pindah agama bukanlah sebuah penyelesaian, apalagi setelah mutasi kita menjelek-jelekan agama sebelumnya.

Kita semua mengetahui bahwa di setiap agama terdapat orang-orang yang mencapai pencerahan.
Dengan kata lain manusia dengan menggunakan baju agama apapun bisa mencapai tujuan tertingginya yaitu bersatu dengan Penciptanya.

Yang paling penting bukanlah mengubah kepercayaan namun mengubah sikap dan perlakuan kita terhadap makhluk lain.

Sampai selewat remaja rasa penasaran terhadap pertanyaan-pertanyaan itu tak mau lepas dari benak, mirip sisa makanan yang tersangkut diantara dua gigi.

Saya sadar rasa penasaran terus bergejolak dikarenakan adanya keyakinan bahwa semua agama baik, dan bila ada yang masih melihatnya jelek, lagi-lagi itu berasal dari data yang ada didalam.

Ibaratnya saya sekarang lahir besar di Indonesia dengan pemikiran seperti saat ini, jika saya dilahirkan sebagai orang amerika yang berkulit putih tentu cara berpikir saya berbeda, begitu pula kalau saya lahir dan besar di Afganistan.

Kepala kita hari ini telah dibanjiri oleh penghakiman, ini terjadi karena keringnya pengertian.
Mengerti bahwa setiap orang memiliki background yang berbeda yang mana membuat setiap individu mempunyai keyakinan, nilai, dan cara pandang yang unik bukan hanya akan menjauhkan diri dari perdebatan tapi juga berpotensi melahirkan empati yang tinggi.

Saat ini dengan pencarian yang mendalam saya telah menemukan jawaban yang memuaskan. Jawaban ini belum tentu akan memuaskan orang lain , bahkan beberapa orang akan menentangnya.
Sekali lagi, jawaban itu bisa memuaskan saya karena cocok dengan logika pemikiran saya, dan tentunya logika saya terbentuk dari data yang ada.

Apakah itu jawaban yang benar? Ya bagi saya dan orang-orang yang sealur logikanya, tapi pasti tidak bagi yang lain.

Selama kita masih menggunakan pikiran, kita akan dibisingkan dengan dualitas, benar salah, baik buruk dan seterusnya, namun kita hendaknya sadari bahwa tujuan kita adalah menemukan kebenaran hakiki dimana ia tidak terletak dalam ranah pikiran. Ia jauh melampauinya.

Rumi, sang pujangga sufi mengajak kita bertemu disana ketika mengatakan,
“Out beyond ideas of right doing & wrong doing, there is a field, i'll meet you there” Disana rumah kita sesungguhnya dimana dualitas terlalu besar untuk masuk, tidak ada yang beradu, juga bergesek, yang tersisa hanyalah keheningan sempurna.