Di Bandung, di toko kakak saya, Rigpa bermain lompat-lompatan, lari kesana kemari, tak lama kemudian saya mendengar sang penjaga toko berkata "Jangan lompat-lompat nanti kakinya patah lho"
"Jangan lari keluar, diluar banyak penjahat"

Lalu saya samperin "Mbak, hobinya kok nakut-nakutin anak ya."

Spontan jawabannya "Biar diam Pak"

Ketakutan memang sudah paten menjadi merek dagang untuk mengontrol seseorang dan sudah terbukti digunakan luas baik skala perorangan, perusahaan maupun pemerintahan.

Walau semakin lama semakin halus, namun yang tersirat pada hampir semua iklan adalah ketakutan.

Hati-hati tulang keropos, awas rambutmu berketombe, ingat masa depan keluargamu, persiapkan pendidikan yang terbaik dan lain sejenisnya.

Dengan dasar ketakutan itu kita membeli dan menggunakannya.

Lalu kita mulai tergantung dan merasa nyaman dengan ketergantungan emosional itu.

Tergantung secara fisik, itu tak dapat dihindari, saya tergantung dengan udara, dengan petani beras, sayur dan buah, dengan pengemudi bis dan sebagainya.

Namun kita perlu menyadari bahwa pencarian kedalam akan sangat terhalang jika kita tergantung secara emosi, atau bahasa lainnya melekat pada orang atau benda.

Kalau kita ngga pakai produk merek A, kita merasa tidak PD, kalau tidak minum vitamin merek B merasa tidak fit, kalau tidak ada dia di sampingku saya tidak bisa bahagia, bagaikan jimat kita menganggapnya.

Bicara tentang jimat, tiba-tiba saya teringat sebuah cerita yang semoga cukup mencerahkan untuk menutup tulisan ini, selamat menikmati dan silakan berbagi

JIMAT

Manusia merasa kesepian dan putus asa hidup di alam semesta yang luas ini.
Maka ia selalu dicekam ketakutan.
Agama yang baik menghilangkan ketakutan. Agama yang jelek justru menambahnya.

Seorang ibu kurang berhasil membujuk puteranya yang masih kecil supaya pulang dari bermain sebelum petang hari.
Maka ia menakut-nakutinya.
Dikatakan kepadanya, bahwa jalan pulang ke rumah penuh dengan setan, yang berkeliaran segera sesudah matahari terbenam. Sekarang ibu itu tak bersusahpayah lagi.
Setiap sore anaknya pulang pada waktunya.

Namun waktu si anak bertambah dewasa, ia jadi takut pada kegelapan dan setan, sehingga ia tidak berani keluar rumah di waktu malam.
Maka ibunya memberinya sebuah kalung jimat dan meyakinkannya, bahwa selama ia memakai kalung itu, setan-setan tidak akan berani mengganggunya.

Nah, sekarang ia berani keluar di waktu gelap, sambil memegang erat-erat jimat itu.

Agama yang jelek memperkuat kepercayaannya akan jimat.

Agama yang baik membuka matanya untuk melihat, bahwa setan-setan tidak ada.