Cicak itu sepertinya tak berdaya, ia diam saja tatkala disentuh.

Saya memanggil Rigpa, dan ia pun datang lengkap dengan kaca pembesarnya.

Dirumah kami, ada berbagai peraturan tak tertulis selain tidak menggunakan shampoo, sabun, pasta dan detergen yang merusak tanah, juga tidak membunuh binatang apapun dengan sengaja.

Kami hidup bersama mereka, saling menghormati dan menyayangi.

Lalu saya bercerita pada Rigpa,
Bagaimana sewaktu saya dan teman-teman sekolah bila mendapat cicak tentu dieksploitasi, salah satunya adalah buntutnya dilepaskan, kami pun menikmati sensasi goyangan buntut tanpa badan tersebut.

"Tapi sekarang tidak lagi nak"

"Kenapa Papa?" tanyanya penasaran.

"Papa dahulu belum tahu Nak, setelah belajar sekarang Papa tahu bahwa binatang mempunyai perasaan sama seperti kita, dia tidak ingin disakiti apalagi dibunuh"

"Mereka juga punya anak dan orangtua, seperti hubungan Rigpa dan papa, kalau kita menyakitinya, kita juga akan membuat orangtua atau anaknya bersedih"

"Kalau kita ingin hidup berbahagia, maka kita juga perlu membuat makhluk lain hidup berbahagia juga, tapi kalau kita belum mampu, paling tidak jangan menyakiti."

Seperti kata Konfusius yang bijak "Jangan lakukan perbuatan yang engkau tidak ingin orang lain lakukan padamu"

Sederhananya, kalau tidak mau dicubit janganlah mencubit.

Selain itu, Phytagoras pernah berpesan "Jangan biarkan anakmu membunuh serangga, itu adalah tindakan yang menuntun dirinya untuk membunuh manusia"

Awalnya saya ragu dengan pesan filusuf ini, namun sebuah penelitian yang saya baca menegaskan bila anak lebih dari 5 tahun dan nasih mengompol, suka bermain api dan membunuh binatang, maka ada sifat agresif di dalam dirinya yang sangat perlu diwaspadai.