KISAH SERULING DAN KECAPI
Lama aku memperhatikan pemain seruling dan kecapi yang berada diseberangku, ia bukan hanya jauh dari tempatku menemani Rigpa, tapi juga terhalang oleh gamelan dan pemainnya.
Berkali-kali kutajamkan telinga ini untuk mendengar apa yang keluar dari lubang bambu dan gesekan senar tersebut namun suara dentingan gamelan yang rancak seolah tidak memberikanku kesempatan.
Dan dikala ada jeda kudengar kecapi dan seruling itu mendominasi pendengaranku, namun hanya sepersekian detik lalu mereka hilang tertelan gamelan kembali.
Kuperhatikan lagi, kudapatkan moment sepersekian detik itu kembali, dan lagi dan lagi, sampai ada masa dimana suara-suara yang sebelumnya ada di pinggiran itu menjadi vokalis utama dipanggung pendengaranku.
Kecapi dan seruling itu bagaikan rintihan merdu dari hati dan jiwa yang tertelan oleh keriuhan gendang pikiran yang tak pernah berhenti.
Jutaan orang bertanya dengan kepalanya "Bagaimana mendengar suara hati?"
Sayangnya pertanyaan seringkali mengundang kegaduhan intelek, memancing diskusi bahkan perdebatan yang berdengung panjang.
Hanya ketika kita sudah merasa cukup baru kelimpahan hadir dan hanya dikala keheningan menguasai pikiran, baru suara hati dan jiwa membiarkanmu mendengar, mengerti dan sadar.