Pendidikan itu selayaknya menumbuhkan bukan menanamkan.

Pola yang selama ini kita anut dalam mendidik anak atau seseorang adalah memberikan batasan apa yang boleh dan tidak, terkadang kita menerangkan tentang apa yang baik dan yang buruk, yang benar dan salah, kemudian kita menjabarkan konsekwensi kalau melakukan baik dapatnya apa dan kalau melakukan sebaliknya hukumannya apa.

Istilah yang lebih kasar mendidik adalah mendoktrin, seperti kalimat "Kita perlu mencintai orang lain, harus berwelas asih, harus menghomati dan menghargai", begitulah kata 'Harus' biasanya ditempatkan untuk memastikan apa-apa yang harus dilakukan.

Kalau kita tidak menghormati orang lain nanti orang tidak juga menghormati diri kita.

Kalau ingin mendapatkan cinta yang banyak kita harus mencintai orang lain yang banyak juga.

Bagaimana kita bisa dihargai kalau kita tidak menghargai orang lain?.

Semua kalimat diatas terlihat dan terasa normal namun kalau kita mau maju dan melihat lebih dalam lagi, semuanya ini mengerikan.

Selain seringnya kata abstrak yang diajarkan pada kita seperti menghargai, mencintai, menghormati, kita juga sedang membentuk kehidupan yang bersifat transaksioal.

Fear Based not Love based bahasa kerennya.

Kita menghormati orang karena kita pingin dihormati bukan karena kita menyadari adanya percikan ilahi didalam makhluk lain.

Kita mencintai karena kita memerlukan cinta dari orang lain bukan karena merasakan keterhubungan di dalam bathin ini.

Dari sini potensi munculnya perlakuan standar yang berbeda dari diri ini pada si miskin dan sang kaya, yang biasa dan yang terkenal.

Dan karena kita melakukan standart ganda tersebut maka susah dihindari, tanpa sadar kitapun berlomba untuk menjadi terkenal dan kaya, agar mendapat pengakuan, penerimaan, penghormatan dan pemghargaan.

Bahkan sebelum sekolah, kita semua diajarkan "Ini mata", "Ini tangan" dan "Ini hidung" sambil menunjukan atau memegang organ dan indra tersebut, kita tidak boleh berhenti disana, kita perluh mengenali diri yang lebih dalam, dari bentuk-bentuk emosi, program-program serta mekanisme pikiran, dan jauh lebih dalam yaitu jiwa atau diri sejati.

Kita sangat perlu belajar dan utamanya berlatih sampai ke level dimana kita mampu menerima dan memeluk diri kita secarah utuh.

Mereka ini tidak perlu penghormatan penghargaan atai penerimaan dari lainnya, utuh adalah cukup, tidak berusaha melakukan pencitraan atau kegiatan untuk megesakan orang lain.

Ketika ia ingin memberi, ia memberi, dengan kata lain ia memberi bukan karena orang lain, bahkan bukan berpikir suatu hari dapat balasan.

Inilah orang yang autehentic , orang yang asli.

Sopan santun, etika dan sejenisnya selayaknya tumbuh dari kesadaran ini bukan hasil cekokan dan ketakutan.

Pendidikan selayaknya mengajak kita masuk ke dalam, karena hanya ketika kita masuk cukup dalam, kita akan merasakan keterhubungan kita dengan semua makhluk, dan jika seseorang sudah terhubung maka tanpa diundang, tanpa dicari, cinta akan tumbuh dengan sendirinya.

Sekali lagi, pendidikan selayaknya bukan 'Menjatuhkan' melainkan menumbuhkan benih cinta yang sudah ada di dalam.