Saya setuju sekali dengan pernyataan "Yoga is not about touching your toes… it’s about what you learn on the way down."

Yoga bukanlah tentang mampu atau tidaknya seseorang menyentuh jari-jari kakinya melainkan tentang apa yang Kita pelajari dalam perjalanan ke bawah.

Dalam rutinitas beryoga di pagi hari beberapa kali saya “Menemukan” bagian-bagian dari tubuh saya.

Bagian-bagian tubuh ini sebetulnya tidak pernah hilang, mereka selalu ada namun sebelumnya saya tidak mengenalinya, beberapa otot, tulang bahkan organ.

Saya telah melihat jutaan hal di luar, memperhatikan banyak benda dan orang lain, bahkan mampu mendeskripsikan dengan detil bagian-bagian yang saya lihat dan rasa namun hal yang terbalik terjadi pada tubuh yang selama ini menemani perjalanan kehidupan di dunia ini.

Saya sempat tidak percaya pada sebuah penelitian bertahun-tahun lalu yang menyimpulkan, bahwa sebagian besar orang tidak bisa menebak dengan benar mana foto yang berisi potongan bagian tubuhnya diantara foto bagian tubuh orang lain.

Sekarang saya sangat percaya, bahkan kemarin saya sempat membongkar koleksi foto-foto terdahulu dan orang di sebelah saya tidak mengenali foto seseorang yang dilihatnya, sebuah foto seseorang yang sedang berpose yang tak terlihat wajahnya, yang tak lain adalah dirinya sendiri.

'The body is the first student of the soul, tubuh adalah murid pertama dari sang jiwa' begitu kata Henry David Thoreau.

Tatkala kita mengenal tubuh kita sendiri kita lebih gampang berkomunikasi dengannya, mirip dengan bila kita mengenal seseorang, pasti lebih gampang kita menghubunginya bukan?

Tubuh selalu berkomunikasi, menyampaikan apa yang terjadi, apa yang tidak beres, tidak mungkin kanker, tumor atau penyakit lain hadir tanpa tanda-tanda awal, namun kegagalan kita mengenalinya yang membuat semua terasa tiba-tiba.

Kita sudah terbiasa melihat keluar, kita memperhatikan hal luar karena kita sedang kecanduan perhatian dari luar, kalaupun kita memperhatikan tubuh, biasanya itu sewaktu tubuh sudah merasa sakit, atau sakit sekali.

Kita belajar nutrisi yang baik, namun tidak mendengarkan apakah tubuh sedang memerlukan atau sedang ingin puasa, kita berlari atau bersepeda ditempat dengan layar didepan mata dan headset yang terbenam di telinga.

Kita membersikan tubuh dengan buru-buru, beristirahat membaringkan badan dengan imajinasi diawang-awang.

Sangat menyedihkan, bagaimana kita bisa mengenal diri sejati yang ada di dalam dengan cara hidup seperti ini?

Sebelum mengenal diri sejati, bagaimana dengan nafas, atau pikiran yang bentuknya lebih halus daripada jasmani?

Sebagian besar dari kita pasti tahu bahwa emosi sangat dipengaruhi oleh cepat atau lambatnya nafas, sementara pikiran adalah sumber segala kebahagiaan dan penderitaan.

Sungguh paradoks, kita semua ingin juga mengejar ketenangan dan kebahagiaan, tapi begitu jarang kita melihat manusia yang mengamati nafas dan pikirannya.

Banyak dan sering kita mendengar bahkan menyetujui kalau kejahatan, kekejaman, perbuatan asusila, keserakahan berawal dari ketidaksadaran manusia, namun pendidikan mainstream yang kita terima lebih banyak menekankan aturan-aturan diluar, antara boleh dan tidak, baik dan buruk.

Seorang sahabat berujar 'Semakin banyak pelarangan semakin banyak pelanggaran'

Secara intelektual hampir semua sudah pasti tahu mana baik dan buruk, tapi tahu saja belum tentu melakukannya.

Melakukan apa yang kita tahu memerlukan kesadaran yang tempatnya ada di dalam.

Pertanyaan besarnya, bagaimana kita bisa bertemu dengan kesadaran didalam kalau tubuh, nafas dan gerak pikiran sendri tidak pernah dikenali dan bagaimana kita bisa mengajak diri ini untuk melakukan sesuatu sementara kenal saja tidak?