Ego yang Semakin Halus
Kita tidak pernah kehilangan apa-apa, karena manusia tidak pernah memiliki apa-apa, semua yang kita pikir kita kuasai bahkan termasuk tubuh yang melekat ini bukanlah milik kita.
Kita tahu secara intelektual hal ini, namun mengapa kita tetap bersedih ketika kehilangan?
Kalau mau melihat lebih dalam, bukanlah kita yang sedih, melainkan ego kitalah yang sedih.
Ego sudah menempel begitu erat dan membentuk bangunan kokoh dan tinggi, karenanya kita tidak mampu melihat siapa sejatinya diri ini sekaligus tidak sadar bahwa kita bukanlah ego.
Di saat orang membeli sebuah benda, katakan Iphone yang terbaru dan termahal maka ego melambung, karena ia menyangkutkan dirinya pada sesuatu yang lebih hebat dari dirinya, yaitu iPhone itu.
Ketika HP itu hilang maka kita merasa sedih, kita sedih bukan karena benda itu hilang, namun 'Diri' kita yang melekat pada HP itu yang hilang, dengan kata lain kita bukan mencari HP itu tapi mencari diri kita yang hilang bersama HP itu.
Semakin hari semakin saya dituntun oleh berbagai peristiwa yang mengingatkan diri ini bahwa pertumbuhan dunia tak lain adalah pertumbuhan ego, sementara pertumbuhan jiwa hampir selalu terbalik dengan pertumbuhan yang diidamkan penduduk bumi ini.
Kita hanya berpindah dari kemelekatan satu kemelekatan yang lain, dari mulut buaya pindah ke mulut harimau,
saya sering mengira diri saya lebih sadar namun kenyataanya hanyalah perpindahan dari ego yang kasar menjadi lebih halus, apapun jenisnya, tetaplah ego.
Dulu saya berpikir berbagi itu adalah hal yang mulia , tangan di atas itu lebih baik namun sekarang, kesadaran yang ada mengatakan bahwa rasa bahagia yang muncul itu berasal dari ego saya yang merasa lebih hebat, lebih superior dibanding mereka yang menerima.
Dan suatu hari sangat mungkin sekali bahwa kesadaran menuntunku untuk melihat bahwa kalimat diatas ini juga merupakan ego yang lebih halus.
Ada seseorang yang sangat sederhana, ia menolak untuk memiliki harta berlebih, ia melekat pada 'Ide' sosok sederhana yang ia inginkan, 'Kalau bukan sederhana bukanlah dia' katanya.
Sebuah kemelekatan yang sungguh halus.
Kesederhanaan haruslah dibangun dari pemahaman yang menyeluruh yang dipimpin oleh pikiran yang sederhana selanjutnya menjalar ke penampilan, bukan sebaliknya.
Kita tidak bisa serta merta menjadi welas asih seperti Nabi Muhammad hanya dengan mencukur kumis atau berpakaian ala bangsa Arab, atau mempunyai kemampuan memaafkan ala Jesus hanya dengan berperawakan kurus dan berambut panjang.
Kita perlu berlatih sampai mempunyai kesadaran setinggi Gandhi untuk menjadi Gandhi, pemahaman sekelas Bunda Theresa untuk mampu melayani kaum papa seperti yang ia lakukan.
Bertahun-tahun lalu saya pun manyadari bahwa ada jutaan kemelekatan yang ada di dalam diri ini, mulai dari rambut gondrong, baju putih dan celana coklat, tidak pakai alas kaki, hidup tanpa sabun, shampoo dan pasta gigi.
Setiap kali berniat menggunakan pakaian berwana lain,ada bisikan terkadang teriakan keras yang mengusik, perasaan tidak nyaman, tepatnya tidak rela kalau image yang telah ada, sudah dibangun begitu lama, sudah teridentifikasi dengan diri dan sudah dikenal banyak orang runtuh.
Walaupun awalnya menggunakan baju putih karena senang dengan kata lain bukan sebagai strategi marketing, namun lama-kelamaan ego dengan lihai mengubahnya menjadi identitas yang melekat kuat, terbukti ada perasaan berat ketika mau melepasnya.
Akhirnya kemarin di tempat ngopi favorite kami, aku pun memberanikan diri untuk mengatakan pada istri tercinta Kartika sesuatu yang telah menjadi tradisi tahunan (baca; kemelekatanku), yaitu melepas sesuatu yang aku sukai.
Ia pun terlihat sedih harus meninggalkan 'Ide' sosok gondrong dan berpakaian putih coklat yang telah lama mengendap dikepalanya.
Dalam hati aku pun hanya bisa mengucap "Kesedihanmu tidak juga permanen sayangku, sekarang datang, sebentarpun akan menguap"