Sokola Rimba
Anak itu sekejab keluar dari mobil yang berhenti di lampu merah lalu mengetok kaca mobil mercy yang berisi dua orang di sebelah mobil yang ditumpanginya " Pak, Pak, boleh ngga sebagian orang-orang yang berjejalan di bis itu pindah ke mobil ini?"
Begitulah kisah Butet Manurung sewaktu mengajak murid-murid Sokolah Rimba ke kota.
Setelah menyelusuri kolong jembatan dan melihat begitu banyak orang yang tinggal dan berhimpitan disana, mereka pun pergi ke mall dan bertanya "Bisakah saya memberitahu orang-orang yang tidur di bawah jembatan itu tinggal di tempat yang luas ini?."
Membaca atau mendengar hal ini, pikiran spontan biasanya terbahak, namun bila kita mau memikirkan lebih dalam, bukankah apa yang dipikirkan mereka lebih mulia daripada kita yang mengaku beradab?
Mereka adalah orang-orang merdeka, mereka tidak diatur oleh waktu melainkan mengatur waktu.
Mereka orang-orang bebas, tidak seperti kita yang di kota yang sangat tergantung pada listrik, PAM, kendaraan, wifi, dan ribuan hal lainnya.
Mereka tidak mempunyai uang namun semua kebutuhan tercukupi.
Dalam jalan-jalannya di kota, pernah mereka berhitung dan berujar "Hari ini Bu Guru Butet telah mengeluarkan 24 kali dompet dan puluhan kali melihat jam"
Semakin mendengar kehidupan mereka, semakin terasa rumitnya hidup saya.
Mereka tidak mengenal angka tapi berbagi dengan adil.
Mereka tidak mengenal huruf namun berkomunikasi dengan harmonis.
Mereka tidak mengenal agama akan tetapi hidup dengan damai dan bahagia.
Semuanya ini menampar saya, sekaligus mempertanyakan untuk tujuan apa kita mencekoki diri serta anak kita dengan semua ilmu-ilmu pengetahuan modern selama ini?
Dan yang paling mengaggumkan adalah mereka masih belum terusik dengan konsep kepemilikan.
Siapapun yang perangkapnya berisi binatang, maka hasil buruanya adalah milik semua warga.
Mereka menanam sendiri-sendiri sesuai kesadarannya, namun memanen dan menikmati bersama-sama.
Mereka tidak memelihara atau mengkandangkan binatang, bahkan tidak mengambil susu atau telur dari hewan yang ada.
Tidak seorangpun menguasai kepemilikan sebuah benda, namun mereka saling memiliki semua hal di rimba itu.
Kebalikan dengan kita yang telah melahap dan meyakini konsep kepemilikan yang penuh ilusi ini, kita berusaha dari pagi hinga malam bekerja untuk mengkoleksi benda-benda, dan menariknya merasa semakin kurang setiap harinya.
Disini saya semakin mengerti apa yang di ucap oleh sang bijak Lao Tzu “When you do nothing, you achieve everything”
Juga dalam kelas-kelas meditasi peserta diminta untuk melepas dan melepas sampai berjumpa dengan keheningan sempurna yang selalu setia menunggu di dalam.
Tatkala seseorang mampu memeluk kekosongan itu, maka keutuhan memenuhi dirinya.
Di bumi ini ada banyak penyakit fisik yang berbahaya yang mematikan, tapi semua itu tidak ada yang seganas penyakit keserakahan kita, kanker pikiran stadium 4 sepertinya sudah menjalar di setiap makhluk yang mengaku paling cerdas ini.
Dengan semangat ketakutan akan masa depan ditambah keinginan untuk terlihat hebat kita berlomba mengumpulkan benda dengan mengeksploitasi manusia lain dan pastinya kekayaan alam.
Sejak mendengar uraian Bu Guru Butet dan sahabat rimba itu tak habis-habisnya saya merenung yang dibuntuti puluhan pertanyaan dibelakangnya.
Salah satunya ‘Siapa diantara kami yang modern dan mereka yang di hutan yang lebih layak mendapat julukan primitif, bar-bar atau kafir?’