Orang terdekat dan beberapa sahabat mengetahui bahwa saya sangat 'bermusuhan' dengan polisi.

Melihat polisi di jalan bukanlah masalah, namun bila ia mencegat mobil yang saya kendarai, entah itu karena saya melanggar atau hanya pemeriksaan surat-surat, emosi saya langsung meradang.

Tidak hanya orang lain yang terkejut melihat reaksi debat dan kemarahan saya, bahkan saya pun tak mengira bahwa saya mampu melakukan hal tersebut.

Lama saya merenung dan mencari tahu, mengapa polisi selalu menjadi bom bersumbu pendek dalam diri saya, dan jawabannya adalah, Pengemudi yang mengantar dan menjemput saya sewaktu saya di bangku sekolah dasar, beratus kali berbicara pada saya dengan nada sinis tentang kejelekan polisi, baginya tidak ada satu hal positif yang melekat pada sosok polisi.

Tidak ada pengalaman buruk atau trauma pada polisi, namun repetisi yang berulang itu telah menjadi keyakinan yang bermuatan kemarahan dan kebencian.

Disini saya sadar dan sekaligus mempunyai pandangan lain tentang sebuah kelompok masyarakat yang membenci rasa atau negara tertentu.

Mereka yang hidupnya dipenuhi kebencian adalah korban dan bukanlah aktor.

Bagaikan bisul yang belum pecah, ketika disentuh, rasa sakit menjalar keseluruh tubuh, begitulah kemarahan dan kebencian yang mengendap didalam tubuh, kita tidak merasakannya, alias baik-baik saja sampai seseorang menyinggungnya.

Memarahi serta meyalahkan orang yang menyentuh bisul tidak berimbas pada hilangnya rasa tak nyaman, kita perlu melakukan sesuatu pada tempat yang sakit.

Mereka yang sering kita sebut sebagai 'Orang yang menyakiti hati kita' bukanlah orang yang menyebabkan kita sakit.

Sakit itu sudah ada dalam diri ini, seperti sosok polisi bukanlah sosok yang membuat saya marah, tapi kemarahan yang telah mengakar dalam dirilah yang penyebab utamanya.

Sebaliknya sayalah yang harus berterimakasih pada polisi yang 'membuat' saya marah, karena sejat inya ia adalah orang yang menunjukan luka pada diri saya.

Sekarang tugas saya adalah merawat dan merawat luka yang disebabkan ketidaksadaran ini.

Kalau dibandingkan, tentu lebih enak menyalahkan yang lain, namun bila kita ingin sembuh tidak ada cara lain selain menghadapi rasa sakit yang timbul, memeluknya dengan kasih serta sabar menunggu hingga kering menjemput.