Jalan Kaki di Jakarta
Sebuah semangat sedang memeluk diriku erat, setelah makan aku pun didorong oleh semangat itu untuk menapak jalan-jalan di Ibukota.
Rasanya semesta ingin menunjukkan sesuatu yang lain.
Kuturuti keinginanya, akupun melangkah di jalan yang lebih kecil.
Jakarta yang baru di guyur hujan membuat raga ini sering berkelok dan melipir menghindari beceknya jalan.
Melewati pasar sayur yang sudah terduga aromanya sejak jauh.
Seperti telapak kaki yang selalu tersenyum karena sudah terlatih menerima jalanan panas atau becek, sekarang saatnya hidung berlatih menerima apapun aroma yang yang disuguhkan.
"Kita menderita bukan karena aroma tapi karena kita menolak" kata diri yang di dalam.
Pesan seorang sahabat agar saya berhati-hati karena Jakarta bukan Ubud yang kuterima tadi sore langsung teringat ketika melewati daerah yang sering diberitakan sebagai sarang preman.
Disini aku tersadar kembali bahwa ketakutanku bukan berasal dari suasana luar yang gelap melainkan dari memori di dalam.
Jalanan semakin becek dan terasa kumuh, aku tertawa kecil melihat laki-laki separuh baya tertidur dan terlihat terlalu lelah disamping gerobak dorongnya, padahal ia menjual obat kuat khusus lelaki.
Dari jembatatan terlihat rel kereta yang memanjang seiring dengan sungai disebelahnya yang sudah terbayang warna dan isinya.
"Inikah sisi lain dari gedung-gedung kinclong disebelah situ?" Tanya hatiku.
Lalu aku mendapatkan diriku tersenyum membalas senyuman dari seorang wanita berusia 40 an yang sedang duduk dengan bedak yang cukup tebal.
Aku menduga, Ia mencari nafkah dengan melayani pria melalui tubuh yang dimilikinya namun bukan jiwanya.
Sama sekali tidak terkesan menggoda, seyumnya terasa tulus diantara guratan keras yang bersanding di wajahnya.
Pastilah kehidupan berliku nan cadas ia lewati selama ini.
Tidak sama sekali terlintas diri ini lebih baik apalagi lebih mulia darinya.
Akupun melewatinya dengan sebuah doa "Semoga berkah melimpah padanya."
Dilangkah-langkah selanjutnya aku sempat diapit antara pengemis disebelah kiriku dan mobil super mewah dikanan.
Keduanya adalah guru simbolik yang sedang membimbing perjalanan ini.
Terngiang apa yang di sampaikan seorang idolaku Bunda Theresa "Apa yang saya berikan pada mereka tidak ada artinya dibanding apa yang saya terima dari mereka, kaum Papa mengajarkan bagaimana menghimpun kekuatan dan ketegaran dalam menghadapi masa sulit, mereka adalah Guru-Guru bagi semua manusia"
Kehidupan adalah berkah, karena penuh dengan tumpukan pelajaran yang bermakna.
Pelajaran berguna bukan hanya terdapat dibalik tembok-tembok akademisi, atau training-training di hotel berbintang.
Pelajaran indah berserakan disetiap langkah kehidupan tidak diperlukan apapun kecuali hati yang cukup rendah untuk memungutnya.