Baru saja melalui 12.000 langkah diantara gedung-gedung tinggi sepanjang Slipi-Sudirman-Thamrin.

Berpuluh kenangan hilir mudik mendesak dan menyesak kepala.

Teringat sewaktu SMA, punya impian bekerja atau memiliki kantor di gedung-gedung penjilat langit itu.

Setiap melewati gedung saya juga teringat sahabat-sahabat yang bekerja didalamnya, beberapa dari mereka sering berkomentar "Enak ya hidupmu Bind?"

Saya mensyukuri apa yang terjadi selama pengalaman di perjalanan menjadi manusia ini.

Tahun 1992 pertama menyentuh Bali, buyar semua impian saya sebelumnya, saya ingin sekali memiliki kehidupan di pulau dewata.

Namun tahun 1995 saya malah pindah ke Jakarta Raya, alasan otak logis adalah mengumpulkan pundi sebanyak-banyaknya lalu cari Rumah di Bali, seperti rencana kebanyakan orang.

Bisnis di Jakarta, sempat tersungkur namun dengan cepat balik berjaya.

Setiap ke Bali pingin tinggal lebih lama, namun selalu kembali ke jakarta karena panggilan dari rekening yang akan terisi.

Tahun 1999 saya berdiri di depan pasar Ubud dan memandang Jalan Mongkey Forest, lalu seperti janji terucap bahwa saya akan tinggal di tengah sawah desa ini bersama orang-orang yang saya cintai.

Alhasil 2 tahun kemudian saya bangkrut total, semua yang terkumpul ludes.

Kebangkrutan bagi sebagian orang adalah hal yang negatif, hal yang perlu dihindari semampu mungkin tapi dalam rencana semesta semua ini adalah semacam paksaan atas keinginan terdalam manusia.

2002 saya pun pindah ke Bali dengan bekal yang hampir nol, berdamai dengan kehidupan apa adanya selama bertahun-tahun.

Tinggal di tempat sahabat, makan tergantung yang mengajak, berbulan-bulan di rumah sakit berbagi dengan para korban bom Bali dan keluarga yang ditinggalkan dan begitu banyak keterbatasan lainnya.

Namun bila boleh dibandingkan , bahwa kehidupan dengan kelangkaan seperti itu sama sekali tidak membuat kehidupan terasa berat, bahkan sebaliknya, hidup sangatlah ringan.

Sekarang saya tahu mengapa hidup terasa ringan?

Karena saya telah melepas semua impian saya termasuk tinggal di ubud.

Saya menyerahkan semua pada semesta, tugas saya hanya melayani dan selebihnya saya membiarkan diri ini terseret arusNya.

Tidak pernah terlintas sedikitpun untuk menjadi pembicara apalagi penulis, itu diluar segala kemungkinan yang pernah terpikir sebelumnya.

Ketika ego menguap, kita akan menemukan diri larut dalam pusaran semesta.

Disanalah tempat kita diletakkan, sebuah "paksaan" menuju kondisi yang sesuai dengan siapa diri kita pada saat itu.

Sore ini aku berjalan diantara gedung-gedung itu kembali tanpa alas kaki, dan menemukan diriku tidak merasa lebih hina atau lebih beruntung dari saudara-saudaraku.

Pengalaman adalah pengalaman, ada pengalaman menjadi orang yang mempunyai tabungan ada juga yang mempunyai pengalaman mempunyai hutang, ada yang jadi pedagang ada yang jadi pegawai.

Semuanya adalah pengalaman hidup yang netral.

Kebahagiaan bukan datang dari pengalaman tapi sikap kita dalam menjalaninya.

Bila kita mampu menerima dan bersyukur, hidup tentu akan bercorak berbeda dibanding menolak dan mengeluh.