Hari selasa kemarin ketika menuju Bali Safari & Marine Park untuk memberikan training motivasi, mobil yang saya kendarai harus berhenti beberapa kali.

Sebabnya ada beberapa iring-iringan ratusan orang yang sedang melakukan upacara ngaben.

Lembu putih raksasa yang digotong puluhan pemuda menandakan yang meninggal adalah kasta tinggi, memaksa setiap orang termasuk motor dan mobil menepi, lalu disusul musik bali rancak yang dimainkan sepanjang perjalanan.

Beberapa kilometer kemudian menemui pembakaran mayat yang berlangsung, mata ini juga disuguhi pemandangan dibakarnya peralatan pembawa mayat yang dibuat dengan indah dan pastinya tidak murah.

Diawal hijrah ke Bali saya syok tatkala mengetahui bahwa setiap ngaben menghabiskan uang yang tak sedikit, ada yang ratusan bahkan miliar, hati ini tidak terima disaat mengetahui banyaknya masyarakat yang sampai menjual tanah atau bahkan menghutang.

'Selayaknya orang mati tidak menyusahkan yang hidup, dan urusan ke tingkat mana orang tersebut akan lahir kembali ditentukan oleh karmanya bukan oleh besar upacara', pikir saya yang masih diliputi ketidakmengertian.

Ditambah selentingan yang sudah umum bahwa sebagian besar masyarakat Bali terkesan 'Memaksa' melakukan ngaben yang wah demi nama gengsi dan kepentingan ego.

Sudah lama pikiran dan pertanyaan seperti diatas kutinggalkan menganga tak terjawab, sampai kemarin beberapa pertanyaan bertengger kembali di ranting syaraf otak ini.

Mengapa tetua Bali mesyaratkan ini semua?
Mengapa kehilangan anggota keluarga harus ditambah dengan kehilangan harta?
Mengapa semua peralatan yang dibuat dengan indah dan bisa dipakai kembali itu harus dibakar dan dibuang, bukankah itu sebuah kemubaziran?

Beberapa detik berlalu, sebuah memori melayang dan terlihat jelas dimata ini para Lama di Tibet yang sedang membuat lukisan indah dari pasir.

Mereka menyebutnya dul-tson-kyil-khor, kita menyebutnya dengan istilah Mandala.

Berhari-hari dengan ketelitian tingkat dewa mereka menyusunnya, dan beberapa saat setelah jadi merekapun menghancurkannya.

Pesan besarnya cuma sebuah kata "annica"
ketidakkekalan, impermanent.

Semua yang ada nanti tiada dan suatu saat mungkin ada lagi dan kemudian tidak ada lagi.

Sadar akan annica artinya bahwa kita diminta untuk tidak melekat pada apapun.

Bukan hanya benda, manusia pun sama, dulu yang berkawan menjadi lawan lalu menjadi sahabat kembali.

Ia yang baru lahir, meninggalkan masa balitanya setelah lima tahun, yang remaja berganti menjadi dewasa dan yang tua mau tak mau harus merelakan nafas terakhirnya.

Perasaan senang hari ini akan menguap beberapa waktu kemudian dan sang sedih akan mendekap untuk sementara juga.

Perasaan riang ketika membeli benda berharga selalu dibayangi ketakutan akan kehilangan atau kerusakan, wajah cantik ala porselen polesan klinik dibarengi kecemasan akan kendur kembali suatu hari.

Semua orang suci hadir mengingatkan hal ini dan untuknya kita diminta selalu dan selalu belajar untuk tidak melekat pada apapun yang tidak kekal.

Yesus mengatakan "Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya."

Buddha berulang bersabda bahwa akar dari penderitaan adalah kemelekatan.

Nabi Muhammad meminta kita untuk ikhlas dan berserah total.

Kita pasti mengingat cerita Abraham atau Ibrahim, apakah Ishak atau Ismail tidaklah penting mendebatkan itu, inti dari kisah tersebut adalah tidak melekat.

Jangankan benda, anak sekalipun bukanlah milik kita.

Disaat kita merasa memiliki benda, apakah benda hidup atau mati, kita melekatkan diri (ego) kita pada barang itu.

Dengan kata lain semakin 'Sayang' kita pada benda tersebut artinya kita semakin tinggi kita meletakkan identitas kita.

Tatkala benda itu lenyap, kita bersedih.
Bukan karena benda yang hilang itu kita bersedih, kesedihan hadir karena kita kehilangan ego yang kita lekatkan pada benda tersebut.

Kembali ke ritual Agama atau kepercayaan dimana begitu banyak energi, waktu, uang yang dikeluarkan disana, tujuannya adalah agar kita tidak melekat pada apapun.

Berkurban apapun yang kita miliki bukan artinya memberi 'Sogokan' pada Tuhan agar kita mendapat harta yang lebih besar.

Dan tentu juga Pencipta yang Maha Kaya tidak memerlukan benda-benda yang kita miliki bukan?

Satu-satunya yang perlu kita potong, perlu kita bakar, kita lenyapkan adalah ego kita, perasaan memiliki atau kelekatan pada ketidakkekalan tersebut.

Ngaben dan ratusan pernik ritualnya pasti mempunyai ratusan makna pula didalamnya, namun inti terdalam adalah "Mengembalikan", ada yang dibakar, ada yang dikubur, semua hanyalah ritual untuk mengembalikan pernik kecil yaitu badan kasar, sementara Atma yang utama telah melayang.

Dalam perjalanan kehidupan manusia ada yang senang ada yang sedih, yang baru melahirkan senang dan yang baru ditinggalkan sedih.

Kelahiran dan kematian adalah dua ujung dari perjalanan kehidupan manusia, di kedua titik itu kita bisa melihat simbol yang alam berikan.

Sewaktu anak lahir tangannya menggenggam dan ketika seseorang meninggal tangannya terbuka, seolah alam ingin mengingatkan kita bahwa perjalanan kehidupan adalah perjalanan melepas, perjalanan menjadi Ikhlas sempurna.

Inna Lillahi Wa inna Illahi Rojiun