Sudah di wanti-wanti sama bule Jerman yang mengispirasi kami ke Chiang Mai, sewaktu bertemu di jalan minggu lalu agar jangan support tempat yang menjual pertunjukan binatang atau paket sejenisnya, mereka berkedok konservasi penyayang binatang atau apapun namanya namun kelakuannya jauh dari perikehewanan.

Saya, Tika dan Rigpa serta seorang teman yang masih mengantuk menyambangi salah satu tempat gajah yang konon ada puluhan tempat di Thailand utara ini.

Kami masuk dan langsung diarahkan untuk menunggangi gajah yang sudah berbaris.

Beberapa detik kemudian kami pun tahu kalau pekerja di sini tidaklah happy apalagi gajah-gajah yang totalnya 72 ekor di tempat tersebut.

Bagaikan menunggangi seorang pekerja rodi, ada kegelisahan dan rasa ingin berontak bercampur dengan keinginan untuk segera turun.

Kami masih menunggu beberapa saat di seputaran tempat tersebut untuk melihat elephant show, walau sebagian diri sudah teriak ingin keluar di sebuah sudut dimana terdapat banyak orang berkumpul, kami kesana.

Para gajah diminta untuk meng-entertaint para turis yang baru tiba, memakaikan topi, mencium pipi dengan hidung panjangnya dan berbuat seuatu yang mengundang tawa, dan si gajah-gajah ini pun telah diajarkan meminta uang dan makanan pada turis yang datang.

Sepertinya gajah dan pawang sudah membuat kesepakatan, "Makanan untuk gajah dan uang untuk pawang".

Sementara beberapa meter sebelum tempat gajah ini, para ibu-ibu dengan agresif dan volume keras menawarkan pisang dengan harga dua kali lipat dari harga pasar.

Sungguh sesuatu yang tak lazim untuk ukuran kota ini.
show dimulai.

Semuanya pernah kami tonton di youtube berkali-kali, persis tidak berbeda sama sekali.

Seperti yang pernah saya tulis di status beberapa bulan lalu, bahwa dibalik keindahan dan kepatuhan para binatang yang beraksi dan berkreasi ada begitu banyak kesakitan yg mereka terima.

Pukulan hingga tusukan tongkat tajam adalah makanan sehari hari.

Para gajah ini melakukan semua atraksi ini bukan karena kebutuhan dirinya untuk mendapat pengakuan dan penghargaan melalui tepuk tangan dan jari jempol yang menghadap atas, semata karena tergantung oleh makanan yang disediakan juga karena menghindari rasa sakit.

Sekilas muncul bayangan analogi gajah pawang dan pemilik perusahaan seperti anak, guru dan orangtua.

Anak di paksa untuk berprestasi, mengantongi nilai bagus, mendapat tepuk tangan meriah, Guru yang stress mendidik dengan keras agar anak menurut.

Ujung-ujungnya, semua adalah kehendak orangtua yang belum membereskan egonya untuk mendapat predikat sebagai ortu hebat.

Yang lebih menarik bagi saya adalah mengamati para pengunjung yang jauh-jauh dari manca negara datang untuk melhat secara langsung, namun sampai ditempat ini, bukannya dengan telanjang mata melainkan melalui layarlah mereka melihatnya.

Perjalanan di lanjutkan ke suku pedalaman yang ternyata tidak dalam-dalam sekali dari jalan raya.

Walau sering melihat via layar kami penasaran dan ingin memegang langsung benda yang mampu memaksa leher wanita di suku itu bertambah panjang.

Ternyata berat banget, ada yang melebihi 5 kilogram, namun tidak ada apa-apanya dibanding orang kota besar yang membawa beban berton-ton di pikirannya.

Kami menemukan sekolah didalam, dan di hari sabtu ada aktivitas belajar disana.

Seorang Guru menerangkan pada saya bahwa mereka ini berasal dari Birma / Myanmar yang kemudian di fasilitasi oleh pemerintah Thailand agar bisa mengembangkan kreatifitasnya juga mempunyai 'Kelayakan' hidup, tentu degan standar dan ukuran-ukuran manusia modern.

Hari senin-jumat mereka sekolah dengan bahasa Thai, sementara sabtu dan minggu belajar bahasa serta hal lainnya tentang Birma.

Kami menemukan sesuatu tak terduga sebelumnya, bahwa diujung jalan ditempat yang paling tinggi berdirilah sebuah Gereja Katholik dengan tatanan yang rapi.

Karena keterbatasan bahasa kami tidak berkomunikasi banyak dengan mereka, sehingga hal Gereja ini menyisakan puluhan pertanyaan dikepala.

Tujuan berikutnya adalah Tiger Kingdom, tempat yang sangat terkenal di sini ini memang berbeda, tidak ada pertunjukan macan, terlihat para macan-macan disini berbahagia.

Setiap orang boleh mendekat bermain bahkan memeluk perdana mentri hutan ini.

Pawangnya mengatakan, "Macan dipersepsikan sebagai makhluk buas dan mengancam siapapun yang mendekat, namun sebenarnya tidak, selama ia tidak diganggu dan kebutuhan dasarnya yang sederhana berupa makan, tidur, sex dan bersosialisasi terpenuhi, ia akan menjadi sangat jinak".

Makanya seringkali kita melihat di berbagai film dokumenter rusa, kijang atau sejenisnya yang biasa menjadi santapan macan berada di sekitaran singa atau macan yang berleha-leha.

Kebutuhan kita juga sangat sederhana, kita 'meng-amplopin' dengan berjuta keinginan.

Alasan klasiknya adalah membuat kehidupan menjadi lebih baik, dan bila kita mau jujur kita sendiri sudah tahu bahwa jawabannya mengapa kita ingin memliki rumah, penghasilan tetap, tabungan yang menggunung, posisi yang steady dan sejenisnya, semua karena ketidakmampuan kita menghadapi rasa takut.

Ketidakpastian bagi banyak orang sangatlah mengerikan, padahal itulah esensi kehidupan, kita menumpuk berbagai hal untuk menimimalisir efek ketidakpastian.

Sementara disisi lain kita mati-matian menghindar dari satu-satunya kepastian yaitu kematian.

Apa yang lebih aneh dari semua ini?

Something to think about ?