PAI
3 malam kami di Pai, lalu kembali ke Chiang Mai untuk semalam sebelum hijrah ke Bangkok, siang tadi untuk bertemu Guru Spriritual dari India yang sangat saya hormat, cintai dan yakini pada hari sabtu dan minggu ini.
Di Pai yang mirip seperti Ubud dengan nuansa gang Poppies Legian, banyak hal menarik yang bisa di lakukan.
Kelas yoga, meditasi dan sejenisnya banyak di sini, di sisi jalan-jalan kita bisa menyelusuri sungai pai yang terkenal dengan duduk dalam ban, berendam di hot sring, sampai menembus goa indah dengan perahu bambu.
Dari Chiang Mai perjalanan berlangsung sekitar 2-3 jam, semua tergantung ketahanan penumpang untuk melewati 762 tikungan.
Rigpa 3/4 perjalanan aman-aman saja karena tidur namun di 25% terakhir dimana tikungan sedang hot-hot nya ia pun terkulai lemas setelah cairan dan makanan dari lambungnya keluar.
Entah apa yang kami konsumsi, saya dan Rigpa selama di Pai mendapatkan tubuh yang tidak stabil.
Suhu meninggi, di udara yang cenderung bertemperatur rendah.
Perasaan mual menggantung selama disana.
Praktis kami tidak melakukan apapun, selain istirahat dan jalan-jalan santai disekeliling tempat kami tinggal.
Sementara sahabat kami yang walaupun alergi dengan panas tak kuasa menahan hasratnya, setelah membeli topi dan merajutnya agar pas dengan seleranya, bersama Tika di siang bolong ia jelajah dan menyapu bersih seluruh ruas jalan dan gang yang dipenuhi toko barang-barang unik desa tersebut.
Wanita dan shopping memang sesuatu. Siapa yang bisa menghentikannya? :)
Setiap hari berlalu pasti mempunyai berkah terendiri.
Walau sewaktu melihat berbagai aktifitas disana banyak yang ingin diikuti namun saya sama sekali tidak memaksakan tubuh ini.
Berkah hari itu adalah menemani Rigpa tidur dan bermain, dan tanpa membandingkan saya percaya bahwa semua yang terjadi adalah baik adanya.
Tanpa memberi label, ini adalah hari yang kurang baik, atau mencari pembenaran lainnya,kami bersyukur, inilah hidangan berkah hari ini, mari dinikmati.
Kembali ke Chiang Mai, berbekal pengalaman, kami melewati kembali 762 tikungan dengan berhenti beberapa kali untuk earthing / grounding, hasilnya tanpa jackpot.
Perjalanan ke Bangkok lancar, Rigpa yang biasa dipangku di pesawat, karena usia yang melewati 24 bulan, harus beradaptasi dengan tempat duduk pribadinya, paling tidak selama take off dan landing.
Mendaratlah kami, di pintu luar, kedua mata wanita menghadap kepadaku "Trus kita mau tinggal dimana selama di Bangkok ini?"
"Saya belum tahu, bahkan saya belum mencarinya, sekalipun di internet, Kamu kan yang bisa wira-wiri Bangkok?" sambil menghadap ke wajah sang sahabat ini.
Lalu dia dan Tika saling memandang, ada raut tegang merambat pada wajah Tika sang perencana sejati ini, sementara sahabat yang terbiasa mengatur orang dan segala hal lainnya terlihat tenang dan "Ayo kita cari sekarang".
Sambil mengantri Taxi yang panjanganya lebih 100 meter wajah kami memelototin layar HP yang bergambar TripAdvisor, Agoda, Booking.com dan sejenisnya.
Kita harus menentukan sebelum ujung antrian dimana giliran kami naik taxi.
Taxi menuju Sukhumvit daerah tempat rencana kami menginap, sang driver berbicara dengan sang staf hotel untuk memastikan koordinat tepatnya.
Macet pulang kantor memberi kesan kalau kami sedang di Jakarta dengan less sepeda motor tentunya.
Dari jalan raya,mtaxi masuk sebuah jalan yang lebih kecil, beberapa ratus meter sang bapak tua yang terbiasa menginjak gas dan rem secara spontan ini mulai kebingungan.
Tanpa Ba-bi-bu di dial lah no telp hotel oleh sahabat yang reaksinya selalu cepat tanggap dan juga selalu siaga 1 ini, kami pun berputar balik.
Lalu wajah saya menoleh ke kanan dan ada sebuah spanduk bertuliskan "Job Vacancy" disana diperlukan Recepcionist, Assistant Chef, dan beberapa kelengkapan hotel lainnya.
Di balik spanduk itu terbetang hotel yang keliatannya baru.
Saya pun nyeletuk "Ini hotel keliatannya baru, mungkin lagi promo dan harganya murah".
Lagi-lagi intusisi yang baru berbunyi ini langsung diputuskan, sahabat kami ini langsung "Pak bisakah kita berputar ke hotel itu?"
"Tidak bisa karena dibelakang sudah ada kendaraan" jawab sang pengemudi.
"Bisa Pak, saya turun dan stop kendaraan yang di belakang, Bapak putar balik ok?" tanpa menunggu jawaban, sang dominan dan kholerik sejati inipun turun dan menghentikan mobil di belakang.
Seperti yang bisa ditebak, kami mendapat hotel bagus, baru dengan harga promo istimewa.
Disini saya ingin mengatakan, bahwa hal sebaliknya sangat mungkin-mungkin terjadi di kemudian hari, kami mendapatkan hotel yang tidak sesuai selera dengan harga overpriced.
Tapi bukan dapat baik atau tidak baik, atau ingin membuktikan bahwa tidak berencana itu lebih baik daripada berencana, bukan, sama sekali bukan itu.
Sejak awal perjalanan kali ini memang didesign dengan planing yang sangat-sangat minim.
Dan sampai sekarang salah satu dampak yang kita dapatkan, bahwa tidak banyak tempat wisata yang kita kunjung atau aktifitas yang kita lakukan selama lebih dari 2 minggu ini, lebih-lebih bila dibandingkan dengan lawatan-lawatan lampau yang padat dengan agenda.
Kami ingin belajar menerima hal-hal yang tak terduga, baik itu menyenangkan atau meyedihkan.
Setelah lama kami dan kebanyakan manusia belajar merencanakan, mengorganisir, memutuskan, mengurangi resiko, menganalisis, mengevaluasai, saatnya kita belajar juga membiarkan, mengalir, menerima dan menikmati apa yang terjadi.
Seperti yang selalu dicontokan alam, ada terang ada gelap, terkadang lebat, terkadang terik, disini bukit disana lembah, ada masanya menggengam juga ada masanya untuk melepas.