Bisul
Malam ini Kartika dan Rigpa menemani saya ke rumah sakit yang bersihnya ngalah-ngalahin hotel bintang 5 dan tidak ada kesan seram sama sekali di bilangan Sukhumvit Bangkok.
Dokter yang membedah abses yang beberapa hari lalu hanya berstatus jerawat mungil ini melihat wajah saya yang meringis, bertanya "Is it painfull?"
"Ya dok, but no worry, i love pain"
Ia mengulangi pertanyaan yang sama ketika belekan kedua dilakukan, dan jawaban yang sama pun ia terima.
Penyebabnya bisa macam macam kata dokter itu yang cukup cekatan itu, bisa karena gigitan serangga, atau gesekan yang menimbulkan luka lalu terjadi infeksi atau lainnya.
Kami menduga selain karena iritasi karena gesekan ransel yang di bopong kemana-mana atau makanan yang mengandung protein hewani, seperti sewaktu anak yang bisulan dan dakwaan utama adalah telur.
Walaupun kami sudah berhati-hati, namun di perjalanan yang tidak selalu terdapat resto veggie, terselip bumbu yang mengandung bahan yang tidak lagi saya konsumsi sejak puluhan tahun.
Hasil sayatan yang berbentuk kawah cukuplah besar dan dalam, sehingga ia menuliskan resep pasti semua dokter yaitu antibiotik, antiinflamasi dan parasetamol.
"Boleh saya tidak mengkonsumsinya Dok ?"
"Tidak ... harus" katanya tegas, "Ada infeksi disana dan Anda harus meminumnya."
Sebelumnya pernah terjadi pada dagu saya, dimana pisau cukur menjadi penyebabnya, saya tidak mentaati perintah dokter dan melewati dengan aman.
Namun kali ini luka yang ada besarnya 5 kali lipat bahkan lebih.
Saat menebus obat, saya bertanya apakah ada supermarket disekitar sini?
Kami pun beranjak dan membeli apapun yang ada dan yang teringat untuk menemani proses ini.
Obat Antinflamasi boleh dikesampingkan karena kami menemukan sejenis kunyit, besok jus pagi hari, berkat sentuhan kunyit tentu akan berwarna berbeda, sementara malam ini 2 ruas telah terkunyah.
Pare untuk menurunkan kadar gula, agar luka segera kering, dan dalam minggu ini sudah berjanji mengurangi konsumsi makanan ber IG tinggi.
Bahkan berpotensi untuk memasukan puasa sebagai menu utama dalam jadwal minggu ini.
Colloidal silver yang selalu menemani kami kemanapun sudah siap menjadi pengganti antibiotik, sementara pain killer biarlah menganggur.
Guru saya Bu Janti Wignjopranoto dan Mbak Yoesi Ariyani atau sehabat lainnya mungkin bisa membantu memberikan saran apa-apa saja yang bisa saya lakukan disini, terimakasih sebelumnya.
Tak lama sesampai di hotel rasa nyeri mulai menggelitik, rasa itu mulai meningkat tak wajar.
Berbaring di bawah selimut, menutup mata dan mulai menghadapi kenyerian tingkat tinggi tersebut.
Ada suara di dalam, "Mengapa dihadapi, lebih baik dialihkan saja atau sibukkan pikiran dengan yang lain."
Tertinggalnya handphone saya di bis sewaktu pulang dari menghadiri ceramah Guru Spiritual dari India merupakan pertanda jelas bahwa saya harus menghadapi semua yang terjadi ini.
Menghadapi disini bukanlah melawan rasa sakit namun menerimanya sebagai bagian dari proses dari perjalanan keliling ini.
Pengalaman adalah pengalaman, ada pengalaman rasa sakit ada pegalaman bersemangat, seperti pengalaman naik mobil dan berjalan kaki, keduanya berbeda dan tidak ada yang lebih baik dan lebih jelek.
Makanya Tika ketika bertemu dengan sahabat yang sakit bukan berdoa "Semoga lekas sembuh" melainkan "Semoga dapat menikmati rasa yang ada"
Bila mau mengeluh, rasanya malu sekali.
Dalam setahun kita semua mendapat 365 hari, dan sebagian besar dilewati dengan keadaan segar bugar, dan selingan beberapa hari dengan kondisi yang berbeda, apakah dengan komposisi ini pantas bagi kita untuk mengeluh?
Dini hari ini saya terbangun ditengah kelaparan berat yang melanda perut dan suhu badan yang masih tinggi, ini adalah PR yang perlu segera dihadapi, sementara rasa nyeri itu sudah jauh bisa diterima, ia masih ada namun sama sekali tidak mengganggu, makanya bisa nulis tulisan ini. :)
Nanti pagi, entah mampu atau tidak menghadiri ceramah, kalau bisa berkah kami dan kalau tidak bisa juga berkah kami untuk berkumpul bersama.