It All Comes Back To You
Tak terhitung banyaknya dalam presentasi saya menampilkan video layanan masyarakar dari WWF yang memberi pesan "It all comes back to you"
Intinya adalah semua yang anda lakukan akan kembali kepada diri anda sendiri.
Perbuatan baik atau buruk, pada manusia, hewan, tumbuhan bahkan pada tanah dan udara yang tak bernyawa, semua apa yang kita lakukan dengan pasti kita akan dapat konsekwensi yang setimpal.
Sebagian besar dari kita tahu hal ini namun hanya sebagian kecil yang sadar.
Sepertinya susah dipungkiri bahwa dalam bagian dari diri manusia ada mekanisme untuk tidak mau mengakui kesalahan atau perbuatan yang dianggap buruk.
Mekanisme penyangkalan ini sangat terasa pada orang yang sedang tertimpa 'kesialan' atau lebih tepatnya adalah kejadian yang tak diinginkannya.
Tatkala terjadi dengan berulang kali orang-orang ini menyebut "Dosa apa aku, kenapa nasib saya seperti ini?" atau "Apa yang aku perbuat sehingga kejadian ini menimpa diriku".
Yang lebih dramatis dengan nada dasar G, generalisasi : "Dari dulu saya tak pernah menyakiti orang lain tapi mengapa semua orang selalu menyakiti aku?"
Disisi lain pasti pernah mendengar perbincangan dua sahabat seperti dibawah ini:
+ Kenapa kamu buang sampah sembarangan ?
- Abis ngga ada tong sampah disini.
+ Eh eh antri, antri ya..
- Biasanya aku juga antri, tapi hari ini waktunya dah mepet banget, sekali-sekali ngga apa-apa lah.
+ Tau sih olahraga itu bagus dan penting tapi orang seperti saya mana sempat yang dari pagi kerja sampai malam begini.
- Lha ini kita udah ngobrol sambil ngopi 2 jam?
+ Ya kan ini special moment aja.
Mereka yang melangar lalu lintas, mereka yang menyerobot antrian, atau mereka yang mencuri mempunyai pembenaran mengapa mereka melakukan hal itu, bahkan pembunuh paling kejam yang menghuni Alcatraz sekalipun selalu punya jawaban yang membenarkan dirinya.
Pembenaran dan penyangkalan adalah dua mekanisme diantara beberapa lainnya yang menghambat diri kita untuk maju baik secara intelektual maupun spiritual.
Sedari kecil kita yang ada di Asia utamanya belajar tentang Tuhan dan hukum yang menyertainya, sebagian besar dari kita meyakini bahwa Tuhan Maha Adil.
Ada yang menyebut hukum karma, tabur tuai, timbal balik atau lainnya, tapi yang menarik bahwa keluhan yang kita lontarkan "Mengapa ini terjadi padaku?", seolah kembali mempertanyakan keadilan Pencipta.
"Kita kan mahkluk bodoh Bin, jadi wajar dong mengeluh, dan lagian Tuhan kan Maha Penyayang, jadi Ia pasti mengampuni dosa-dosa kita" seloroh seorang teman.
Bila kita mengatakan bahwa kita makhluk bodoh, dengan segala kerendahan hati tentu adalah hal yang mulia, namun setelah kita mendapatkan segala fasilitas serta status makhluk paling cerdas dan mulia lalu melakukan pembenaran pada apa-apa yang kita lakukan dengan alasan kita adalah makhluk bodoh, tentu sebuah pernyataan yang perlu dipertanyakan kembali.
Betul sekali Tuhan adalah Maha Penyayang, karena sayangnya yang tak terhingga Ia ingin kita semua menjadi 'dewasa' dengan belajar dari alam ini, salah satunya adalah sadar akan hukum yang ada di semesta ini.
Sadar setiap helai tisue yang kita gunakan, sadar pada setiap tetes air yang terbuang, sadar pada karbondioksida yang keluar dari mobil yang kita kendarai, sadar akan adanya cinta kasih dan kesakitan serta jiwa yang melayang pada makhluk hidup di hidangan yang kita santap.
Dikala kita sudah menyadari hal ini, pertanyaan "Saya tidak pernah menipu orang lain namun kenapa sekarang ini saya ditipu?".
"Saya tidak pernah melakukan tindakan kasar namun sekarang mengapa mendapat perlakuan tidak senonoh?", tidak mungkin ada.
Di semesta ini energi tak pernah hilang, begitu ungkap para ilmuwan, ia hanya berubah wujud.
Kita tidak pernah membuang sesuatu dan hilang begitu saja, tidak ada ruang hampa, semuanya akan kembali. Konsekwensi yang sempurna.
Jadi apapun yang diberi label "Keberuntungan dan kesialan" adalah murni hasil dari perbuatan kita baik langsung ataupun hanya sekedar niat terkecil sekalipun.
Sebuah pepatah, "Gunung yang tinggi mempunyai lembah yang dalam".
Di Bali para tetua bali menyebutnya: "Amongken liange, amonto sebete," - Sebesar apa kesenanganmu, sebesar itu kesedihanmu.
Seorang kepala suku yang berwajah damai ditanya,
"Anda tidak mengenal Tuhan namun selalu bahagia dan bahkan bagaimana Anda tidak mengeluh dalam keadaan sulit sekalipun?"
Jawabnya "Ada yang bilang saya tidak mengenal Tuhan dan yang lain mengatakan saya tidak memiliki Tuhan, saya tidak tahu itu, tapi saya percaya kalau kita semua adalah milik alam ini".
"Dia berlaku adil pada segalanya, itulah yang kami yakini, jadi bila kesulitan melanda saya atau suku ini, kami tidak mempertanyakan lagi, kami semua bertanggung jawab, kami meyakini bahwa itu adalah hasil dari perbuatan kami"
Ternyata, percaya dan tidak percaya tidak berhubungan langsung dengan melakukan atau tidak melakukan perintahnya.
Teringatku pada Lukas 4 di ayat 46 "Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan".
Salam bahagia