Mengucap Selamat Hari Raya
Kurang lebih sama setiap tahun, perdebatan antara boleh dan tidak bagi agama lain mengucapkan selamat pada yang merayakan hari raya.
Tahun ini bertambah dengan perdebatan hadirnya pohon cemara berhias lampu di istana.
Saya menerima 2 foto yang sama dengan diawali kata Puji Tuhan ... dan satunya lagi Astaghfirullah ..
Begitu juga perdebatan tentang kebijaksanaan pemerintahan atau tindakan serta ucapan para petinggi negeri, ada yang mengecam ada yang mendukung.
Siapa yang mengecam siapa yang mendukung, siapa yang memperbolehkan siapa yang melarang, kita semua sudah tahu siapa-siapanya, asal dan dari mana latar belakangnya.
Berpikir mana yang benar dan salah bukan hal yang terlalu sexi bagi saya.
Pelajaran penting yang saya dapatkan adalah bahwa apapun kejadiannya kita manusia mampu melihat dari sisi yang berbeda bahkan berlawanan.
Sayangnya kita sering hanya mau membaca, melihat, berkumpul atau berdiskusi pada hal-hal yang menguatkan apa uang kita yakini dan tidak tertarik untuk keluar dan mengubah fokus, bukan untuk mengubah keyakinan namun memahami sisi-sisi yang selama ini tidak tersentuh.
Bila kita dalam keseharian sentimen pada seseorang atau sesuatu kelompok, maka apapun yang dilakukannya adalah salah, dan hidup dalam kemarahan seperti ini pasti tidak menguntungkan dalam kesehatan fisik juga mental.
Ini baru sentimen belum metermen apalagi kilomen :))
Yang kedua: kita bisa melihat sendiri, kejadiannya sama, subyek dan objek pun sama tapi emosi yang keluar dari masing-masing orang berbeda.
Dengan kata lain Kebencian dan Cinta hadir di hati dua orang yang berbeda diwaktu melihat sebuah kejadian yang sama.
Bahkan sebuah eksperesi senyum misalnya dari seseroang, bagi si A adalah senyum palsu sementara B melihatnya sebagai senyum tulus.
Artinya bahwa emosi apapun yang mencuat bukanlah berasal dari diluar melainkan dari program yang terendap di dalam.
Darimana program itu berasal?, bagaimana cara bekerjanya? dan apa efek dari kehidupan saya bila menggunakan program tersebut?
Lebih menarik diulas daripada meributkan benar dan salah.
Namun kita tidak boleh berhenti pada mengetahui akar mengapa kita menyukai dan membenci sesuatu.
Perlu kita melangkah lebih dalam ke wilayah penuh dengan keikhlasan, dimana kedua kubu berlawanan telah melepas egonya.
Selama kita masih berkutat pada pikiran yang berkerabat dekat dengan dualitas selama itu pula kita memiliki lawan yang harus dihindari atau kalau bisa dimusnakan.
Jangankan ditataran rendah materi, dipanggung spritiual yang tertinggi sekalipun kita senang menariknya turun ke ranah pikiran dan mendualitaskan yang Maha Penyayang.
"Tuhan memiliki musuh" adalah contoh kalimat yang susah saya cerna.
Untuk itu bagi sahabat yang sahabat yang sudah jauh melangkah atau sudah bosan dengan keriuhan benar dan tidak, mari kita berkumpul dalam wilayah keheninganatau keikhlasan sempurna.
Sebuah tempat yang disebut Jalal Ad-Din Rumi "Out beyond ideas of rightdoing and wrongdoing, there is a field, i'll meet you there"
Salam Hening