Setiap ke Jakarta, entah janjian atau tidak, saya bertemu dengan kerabat atau teman satu suku dengan saya.

Sebagian besar mereka adalah pebisnis ulung dengan kemampuan melihat peluang yang hebat.

Pada kunjungan kali ini, hampir semua yang saya temui mengeluh tentang ekonomi yang lagi lesu, barang yang ngga laku, tagihan yang mengejar, biaya hidup yang semakin tinggi.

Sementara disisi lain mereka yang 'Beruntung' karena dolar yang meroket mengeluh kesibukannya untuk memenuhi permintaan.
'Untuk makan pun tak sempat' katanya.

Tinggal dirumah yang berharga miliardan, kalau bukan milik sendiri mereka menyewanya, menggunakan mobil ratusan juta, entah sudah lunas atau masih nyicil serta pakaian dan arloji yang bermerek.

Pusing dipekerjaan disiang hari diboyong malam hari ke kafe dengan menceritakan susahnya mengatur orang jaman sekarang.

Dipesta dengan baju mewah melirik yang kaya dan membicarakan enaknya hidup diposisi itu sambil juga 'Menyenangkan' diri membicarakan orang lain yang sedang bangkrut.

Dahulu saya adalah mereka, yang hanyut di pusaran persaingan tak berujung dan beranggapan 'Ya beginilah hidup ini'.

Kemarin tanpa rencana saya bertemu dengan mantan partner bisnis, lebih dari satu jam saya mendengar keluhannya tentang hal yang diatas ditambah ketakutan akan toko dan barang yang ingin disita kreditor, semua keadaan ini membuat kesehatanya semakin menurun.

Beberapa kali ia bertanya tentang way out atau jalan keluar.

Saya mengatakan bahwa satu-satunya jalan keluar adalah jalan kedalam.

Ia tetap melanjutkan cerita tentang beratnya tanggungan dan tuntutan hidup yang ia jalani.

Saya menjelaskan bahwa hidup tidak pernah sekalipun menuntut, ego kita lah yang ingin mendapatkan penghargaan, penerimaan dari lingkungan makananya kita mengejar ini semua.

Belum selesai saya berbicara, ia memotong dengan memberikan beberapa basic need yang harus dipenuhi, seperti menggaji pegawai membayar kontrakan dan sebagainya dan sebagainya.

Berulang kali ia bertanya jalan keluar, selalu saya kembali bahwa masalahnya ada di dalam, hidup dan kehidupan ini hanya merespon apa yang ada di dalam dirimu. tidak mungkin kekacauan diluar terjadi tanpa diawali dengan keruwetan didalam.

Ayo bereskan didalam dahulu, rileks, lepaskanlah genggaman egomu, ia terlalu berat untuk dibawa ke dalam.

"Tapi bagaimana bisa tenang bermeditasi kalau tekanan datang dari kiri kanan?" katanya.
"Kalau sudah dapat solusi untuk kasusku ini maka mungkin kau bisa ikut yoga atau duduk hening"

'Kita tidak perlu solusi kawan' kata saya,
'Sama sekali tidak perlu' saya menekankan sekali lagi yang membuatnya dia tidak percaya.

'Apa yang kita perlukan adalah understanding, kita perlu mengerti mengapa saya memerlukan ini semua?,
Darimana sumber semua masalah ini?

Kita semua bermasalah dengan rasa aman karena mungkin sering ditakut-takuti sewaktu kecil.

Kecemasan dan kegelisahan di dalam kita sudah menggunung, belum lagi ketakutan masa depan yang berawal dari luka bathin juga trauma-trauma yang belum kita sembuhkan.

Kita sudah tidak terhubung dengan alam lagi, mulut saja yang berdoa "Aku percaya sepenuhnya padaMu ya Tuhanku" namun kita tidak mau meluangkan waktu untuk merasakan bahwa seluruh alam semesta sedang menimang kita.

Kita telah dididik bersaing dengan intensif sampai-sampai kebahagiaan sering kali diartikan eforia kesenangan ketika menang dan juara.

Sebaliknya dibagian kehidupan mana kita dilatih secara nyata bahwa kita perlu senang bila ada orang lain yang senang, kita perlu mengasihi orang yang membenci.

Didalam otak, bersaing sudah menjadi otot yang kuat besar dan kaku mencengkram sementara cinta masih serabut kecil lemah yang tak terpelihara.

'Masalah kita dan masalahmu ada di dalam teman, stop membandingkan dan mencari jalan keluar' adalah kalimat terakhirku sambil mengantarkan ia masuk ke mobil.

Kalau ia berubah aku bersyukur, kalaupun tidak aku pun bersyukur.

Perubahan bukan ditanganku, aku hanya menjalankan kehidupan dan tugasku dengan tuntunan kesadaran yang ada.