TUGAS UTAMA ANAK ITU MEMANCING EMOSI ORTU
Obrolan ParENTING bersama mbak Gracia di pasar ragam.
Anak-anak dilahirkan untuk menuntun kita sebagai orangtua masuk ke dalam dan menyembuhkan luka-luka batin, bukan sebaliknya dengan kemasan bahasa “Mendidik” atau “Mendisiplinkan”, kita malah menularkan luka bathin kita pada si kecil yang masih murni.
Dikala sudah besar, kita perlu menyadari bahwa bathin kita penuh dengan goresan akibat gesekan yang terjadi sewaktu kita kecil, biasanya luka-luka ini terjadi karena hubungan kita dengan orangtua, mungkin kita telah berhasil menutupnya’, mengalihkannya namun bukan menyembuhkannya.
Dengan berbagai dalil dan pembenaran kita merasa tidak apa-apa, baik-baik saja, namun didalam hati kecil kita tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Sebagian besar orang dewasa telah terbajak oleh emosinya, apakah itu kemarahan, ketakutan, kesedihan atau lainnya, dari dasar emosi inilah kita mengambil keputusan, menghakimi, mengejar sesuatu dan bertindak-laku lainnya.
Walau disisi lain kita telah belajar sopan-santun, etika, menahan agar emosi yang di dalam tidak keluar, kita mengatur cara kita berpakaian, berbicara dan bergerak namun letupan dari dalam yang mendidih tidak bisa dihindari.
Seperti alam yang selalu mencari keseimbangan begitupula tubuh dan bathin ini yang ingin sehat dari luka-luka yang di derita.
Sewaktu kita mencari pasangan bawah sadar kita mencari orang yang bisa menyembuhkan luka bathin kita, biasanya pasangan kita mempunyai ke-khas-an alias kemiripan dengan salah satu orang tua yang hubungannya kurang akur dengan kita.
Tujuannya bawah sadar agar kita mengenali masalah yang ada di dalam diri dan membereskannya dengan cara mengerti, memahami dan menyadari, namun yang terjadi seringkali sebaliknya, kita malah ‘membereskan’ pasangan kita.
Ketika anak lahir, ia terhubung dengan luka-luka yang ada di dalam hati kita, anak mengenal betul dimana tombol merah yang ada di diri kita, dan ia seolah mempunyai ‘Tugas’ untuk memencet bara tersebut.
Sebagai contoh kehidupan kami.
Sewaktu Rigpa menjatuhkan piring nasinya, saya merasa hal itu biasa, saya santai kaya dipantai sementara Tika walau tidak punya namun ia merasa jenggotnya terbakar.
Namun disuatu saat ketika dengan tenangnya Rigpa melempakan sebuah mainannya ke kolam di depan rumah, saya terkejut dengan reaksi saya yang mengerang, saya menyadari tangan saya mengepal kuat dan nafas panas saya keluar dengan gigi yang berhimpitan erat.
Ini adalah hal kecil, masalah sepele, namun mengapa bisa memancing naga merah membara keluar dari diri saya?
Saya kaget sekali bahwa ada kemarahan yang amat besar dalam diri saya yang selama ini saya anggap sudah padam.
Saat seperti inilah saat yang paling penting dalam diri manusia, ini adalah titik krusial yang dimana kita bisa pilih mau dibawah kemana kesadaran diri ini.
Dahulu sebelum menyadari hal ini, seperti kebanyakan orang saya akan berusaha untuk mengontrol keadaan luar dengan cara marah dan mengancam agar orang lain untuk tidak melakukan tindakan yang membuat saya marah lagi.
Sekarang tatkala naga keluar, sebelum ia kembali dan bersembunyi lagi, saya pastikan memegang buntutnya dan mengikuti kemana ia pergi dan mendekam.
Berbekal rasa marah, sedih, takut yang memuncak inilah saya bermeditasi, menyelam kedalam ke tempat dimana pertama kali emosi itu muncul.
Kita hanya bisa memberi apa yang kita punya, kita tidak mungkin sering marah kalau kita tidak mempunyai kemarahan di dalam.
Kita sudah terlalu banyak berdebat untuk mencari solusi, kita hanya menutup satu masalah yang muncul sambil menunggu masalah lain hadir.
Kita perlu sekali mengurangi cara-cara instan dengan mengatur semua yang di luar dan kembali kedalam untuk mengerti darimana semua masalah berawal.
Dan tidak ada orang lain yang lebih lihai menunjukkan tempat luka membara, tidak ada orang yang lebih jago memancing naga keluar, dan tidak ada orang lain yang mampu menuntun kita pada kesadaran yang lebih luas selain sang guru besar yang berbadan mungil.