Kamis nanti pas di program Buah hatiku tersayang TVRI , saya diminta berbagi dengan tema 'Menjadi anak yang baik'.

Ini dilema bagi saya, karena selama menjadi anak bahkan setelah remaja saya selalu di cap anak yang nakal, paling rajin membolos, tidak pernah mencatat atau belajar.


Menjelang Ebtanas, saya bersumpah tidak memegang lemari buku apalagi bukunya.


Namun walau begitu, saya tidak sombong, saya selalu menempati ranking satu, atau dua, paling apes rangking tiga .... dari belakang :) :) :)

Kalau mau dilihat lebih dalam sebenarnya saya ini anak yang baik, bahkan sangat baik, karena saya memberi kesempatan pada sahabat-sahabat lain untuk duduk di rangking yang lebih atas daripada saya.

Kebiasaan saya yang suka mengalah inilah yang mengispirasi saya membuat quote "Belajarlah mengalah sampai tak seorangpun bisa mengalahkamu, belajarlah merendah sampai tak satupun yang mampu merendahkanmu" :)

Anak yang baik itu patokannya apa?, dan siapa yang berhak menentukan patokan tersebut?

Selama ini jawaban yang paling populer, paling tidak menurut survey sederhana yang saya lakukan sewaktu berbagi pelatihan Compassionate parenting adalah anak yang berbakti, dalam bahasa kasarnya, anak yang menurut.

Selama orangtua gampang mengontrol anak tersebut, orang tua akan menyebut anak ini adalah anak baik, anak yang tidak menyusahkan orangtua.

Lha disisi yang lain saya juga sering menemukan orangtua anak-anak 'Baik' yang mengeluh karena anaknya yang sekarang sudah gede masih penakut, tidak punya inisiatif, tidak kreatif dan sering sakit-sakitan.

Mengontrol anak dengan ketakutan memang hasilnya cespleng namun banyak efek samping yang tak terduga muncul dikemudian hari.

kalau malam ada setan, jangan naik-naik nanti jatuh, janngan hujan-hujanan nanti sakit adalah sebagian dari ribuan jejalan ketakuatan yang di terima anak.

Belum lagi ditambah rasa bersalah seperti, "Kakak membuat mamamu sedih" "Hati mama sakit karena kamu", "Tuhan pasti marah dan menghukum kalau Adik begitu".

Kita mengancam, membentak, menakuti, mengalihkan, menyalakan anak karena kita tidak mau repot menemani, mendengar, menggali memfasilitasi, kita sudah sibuk dengan ribuan urusan manusia modern yang kompleks.

Mereka yang kreatif di cap pemberontak, mereka yang teguh pendirian dituduh keras kepala, mereka yang mengikuti suara hatinya dikatakan tidak menurut, jadi seperti apakah anak yang baik itu?

Mungkin pertanyaan sebelumnya yang lebih penting ditanyakan pada diri sendiri, "Apakah dalam tindakan kita sudah cukup baik untuk mengatakan bahwa anak kita tidak baik?"