Kita perlu sekali melihat lebih dalam dan mengerti mengapa teror dilakukan, kita tidak boleh hanya melihat prilaku lalu menyalahkan mereka.

Setiap prilaku yang keras pasti ada emosi bergejolak dibaliknya, mengapa mereka marah, mengapa kebencian dan dendam bersarang didalam hati mereka?

Ini bukanlah Agama, namun lebih luas lagi, masalah ekonomi, ketimpangan sosial, sistem keadilan yang terbentuk, politik, media, pendidikan dan banyak lagi lainnya.

Jilakau mereka membenci kelompok atau agama tertertu dan kita membenci mereka, mengutuk, serta mengucilkan mereka, bukankah tindakan kita sama dengan mereka?

Kita sering mendengar bahwa "Api tidak dapat dimusnahkan dengan api" atau "Kita tidak mungkin mengusir kegelapan dengan kegelapan"

Apakah dengan mengutuk mereka, maka prilaku mereka akan berubah, atau akankah mereka tobat dari perbuatannya dengan hukuman yang kita berikan?

Kita pasti telah belajar dari sejarah, dari sekitar, bagaimana bakteri menjadi lebih kuat karena antibiotik, hama menjadi ganas berkat pestisida, begitu juga kanker dengan kemo nya.

Kalau ada beberapa hal yang paling mereka butuhkan, hal itu tak lain adalah pengertian, welas asih, mereka kekurangan cinta bukan hukuman.

Beberapa ilmuwan yang melakukan riset pada kaum fundamentalis dan menyimpulkan bahwa tingkat kebahagiaan mereka sangatlah rendah, penelitian ini juga dikukuhkan oleh disertasi dari David Hawkins yang dibukukan dalam judul Power versus Force, secara energi, mereka yang sangat keras mempunyai tingkat energi yang sangat rendah.

Sudah saatnya kita membawa apa yang selama ini hanya sebagai dengungan kotbah 'Kasihilah musuhmu' di gereja atau tempat suci lainnya menjadi tindakan nyata.

Kalau kita mendoakan para korban dari sebuah tindakan teror, kita juga perlu mendoakan mereka-mereka yang hatinya penuh dengan kebencian.

Kalau kita menyalahkan lilin, memberikan bunga, mendengarkan derita para korban, bukankan kita juga perlu mendengarkan mereka, menyalakan lilin dan menaburkan bunga pada hati yang sedang gelap dan penuh dendam?

Disisi lain, kita juga perlu melihat kedalam diri kita, mengapa kita bereaksi begitu keras pada sebuah situasi namun terasa tidak perduli pada situasi lainnya?

Sebagian besar dari manusia di dunia tidak bereaksi pada bom-bom yang meledak di timur tengah atau kelaparan yang menewaskan ribuan orang setiap harinya di Afrika, apakah kita sudah merasa normal bahwa tempatnya bom dan kelaparan itu disana?

Kita sangat perlu mengerti diri kita, pikiran dan tindakan yang kita lakukan, kita perlu untuk merenung mengapa kita mengutuk, membenci?

Apakah kutukan membuat dunia ini menjadi lebih baik?

Bila tidak mengapa kita melakukannya?

Mungkin kita perlu belajar dari suku terpencil yang tak mengenal agama ini.

Dalam tradisi suku Babemba di Afrika Selatan, bila ada seseorang dalam suku tersebut melakukan tindakan yang tidak bertanggung jawab atau berbuat tidak adil, ia diletakan sendiri di tengah alun-alun desa tanpa belenggu apapun, kemudian seluruh penduduk desa menghentikan semua aktifitas hariannya, berkumpul mulai dari anak kecil hingga yang paling tua membentuk lingkaran mengelilingi orang tersebut.

Kemudian satu per satu setiap orang di suku itu mengutarakan tentang kebaikan yang pernah di lakukan sepanjang hidup orang tersebut.

Mereka mengungkapkan semua kebaikan yang diingatnya dengan cinta, mengulang segala hal positif dengan detil tanpa membesar-besarkan, dan merapal semua kekuatan yang terdapat di dalam orang tersebut dengan rinci dan tulus.

Ritual ini biasanya menghabiskan waktu berhari-hari, dan pada akhirnya, lingkaran ini membubarkan diri dengan upacara perayaan yang penuh kegembiraan sebagai simbol untuk menyambut kembalinya orang tersebut pada komunitas suku itu.

Suku Babemba sepertinya mengerti benar pepatah para bijak "Jangan kutuk kegelapan namun nyalakan lilin", mereka tidak mengutuk tindakan gelap, bahkan mengunjingkanpun tidak.

Mereka sadar bahwa menjelekan orang lain tidaklah lebih baik daripada tindakan orang yang dibicarakan.