Hampir 2 minggu ini saya menghabiskan hari hanya di rumah, memeluk tubuh yang bertemperatur naik-turun, membersihkan usus dengan kopi, mengganti perban 3-4 kali sehari dan melumatkan sayur menjadi jus dan tonik.

Tentu ada banyak cara mempercepat proses menjadi 'Normal' kembali, namun kebijaksanaan diri memilih untuk melewatinya tanpa intervesi kimia.

Membiarkan diri untuk belajar mengenali apa yang terjadi sambil memberi kesempatan tubuh memproduksi antibodinya.

Saya percaya ada banyak jalan berkelok nan indah hilang bila kita mengambil jalan pintas.

Sakit atau mendapat penyakit sering dianggap sebagai musibah, seperti letusan gunung atau tsuami yang sering diberi judul bencana atau Tuhan yang sedang murka.

Tidak jarang pula kita mendengar orang mengkaitkan antara sakit dengan hukuman dari Pencipta.

Seorang kerabat pernah datang ke rumah meminta saya masuk ke keyakinannya bila ingin diberkahi kesehatan, umur panjang, keturunan bahkan kekayaan, dan dia pun mengaransinya.

Saya menjawabnya dengan senyum karena hati ini masih percaya bahwa Pencipta yang Pengasih dan Penyayang serta maha Adil ini tidaklah diskriminatif.

Mungkin banyak orang masih beranggapan sakit adalah sesuatu yang negatf yang perlu dihindarkan, karena rasa tidak nyamanya, orangpun menggunakan banyak cara untuk melenyapkannya dengan segera, tapi saya melihat sebaliknya.

Ada cahaya-cahaya indah yang selalu menebar ketika sesorang dilanda rasa sakit, apakah karena kebangkrutan, rumah yang terbakar, kanker yang menyerang, atau ditinggal oleh kekasih.

Ketika kemalangan terjadi, manusia cenderung melihat ke dalam, sementara tatkala keberuntungan menggunung kita sering sekali sibuk melihat keluar, menghitung pundi yang beredar.

Seperti ketika kita sakit gigi, kita baru sadar bahwa kita punya gigi, sakit lever barulah tahu dimana letak lever itu, kita mengelus dan memijat perut tatkala perut kembung, begitupula sewaktu sakit hati, kita pun mulai memperhatikan hati kita.

Bahkan Chin Ning Chu, yang terkenal denga bukunya, Thick Face Black Heart meminta kita merayakan bila hati kita hancur, ia menulis,
"Berbahagialah dan rayakan setiap kali hati anda hancur. Hanya saat hati anda hancur, cahaya dapat masuk. Baru setelah Anda merasakan dukanya penderitaan, Anda dapat tahu bagamana orang lain menderita. Inilah tempat Anda memahami empati. Inilah saatnya orang lain dapat melihat ke dalam mata anda, jendela jiwa dan melihat bentuk, kearifan, rasa kasih dan pemurnian kembali. Setelah merasakan kehancuran hati, Anda akan menjd lebih cantik dan menarik bagi dunia."

Bila Rumi berujar "The wound is the place where the Light enters you”,
Khalil Gibran mengucap "Semakin dalam kesedihan menyayat luka ke dalam jiwa, semakin mampulah sang jiwa menampung kebahagiaan"

Bukan hanya pada Guru Agung Buddha yang terlihat jelas pejalanan pencerahannya diawali oleh duka, namun hampir semua makhluk suci dalam segala abad juga mengalami hal serupa.

Sakit adalah bagaikan Guru besar yang sedang berkunjung, ia memaksa lidah kita tidak nyaman agar kita berpuasa, melibas semua kesenangan luar, menggilas ambisi-ambisi, ia memaksa kita melongok ke dalam jiwa, Sakit membuat tubuh tertidur, namun membuat jiwa kita terbangun dari mimpi-mimpi kosong atas dan menyadari ketidakkekalan kehidupan ini.

Teringatku oleh buku diawal-awal aku mulai suka membaca, Tuesdays with Morrie, sang Profesor bijak itu berpesan "If You accept you are going to die at any time, then you might not be as ambitious as you are".