Perlu dan Tidak Perlu
Perhatikan fenomena disekitar kita, Ketika jalanan hendak dilebarkan atau jembatan layang sedang dibangun, jalanan yang biasa dilalui menjadi lebih macet.
Kita juga harus menggali kedalam sebelum membangun rumah yang menjulang ke atas.
Setiap biji harus mendekam dulu diperut ibu bumi atau meredam dalam air sebelum akhirnya bertunas.
Pembentukan plastik, kaca bahkan logam dimulai dari proses pelelehan.
Setiap pertumbuhan seolah harus melewati proses awal yang berkebalikan.
Perhatikan dalam skala tubuh, hal yang sama juga terjadi, mengkonsumsi makanan yang hambar setelah beberapa saat akan melahirkan lidah yang lebih pintar terhadap rasa apapun.
Otot juga akan berkembang setelah melalui kegiatan yang membuatnya pecah.
Sementara sakit adalah proses berkebalikan dari sehat yang tujuannya adalah membuat kita bersitirahat serta mengeluarkan toxin agar tubuh meraih titik imbangnya kembali.
Semakin kita sadar, semakin kita nyaman dengan proses kebalikan ini.
Salah seorang Guru saya dalam parenting Toge Aprilianto berkali berkata bahwa anak-anak tahunya cuma "Enak dan tidak enak", sementara orang dewasa menyadari "Perlu dan tidak perlu" dengan arti lain kalau kita belum bertransformasi dari yang enak-enak saja ke yang perlu-perlu saja maka berapapun usia kita, kita masih dikelompokkan pada golongan anak-anak.
"Perlu" adalah sebuah tindakan untuk mengalahkan diri sendiri, alias mengalahkan kenyamanan yang sedang dinikmati.
Berolahraga mungkin adalah contoh ideal yang semua orang merasakan. Kita semua tahu manfaat olahraga dan kita juga tahu "sakit"nya berolahraga.
Otak kita enggan meninggalkan yang "lebih nyaman" untuk sesuatu yang "sakit" tersebut, padahal bagian diri kita yang lain juga mengetahui banyaknya kebaikan dan manfaat yang di dapat dari sang "sakit" tersebut.
Bagaimana dengan olahpikir?
Kita semua juga menyadari susahnya diri ini keluar dari diskusi-diskusi yang negatif yang berujung pada menyalahkan pihak lain.
Kita juga lebih gampang tertarik pada berita-berita yang membebani sisi psikis dan vibrasi diri.
Di sisi lain kita ogah menggali pikiran dan menemukan keindahan pada kejadian yang berseliweran sepanjang hari.
Dalam tararan yang lebih dalam lagi yaitu olahjiwa, sudah bisa dipastikan bahwa orang-orang istimewa pernah mengalami masa "terbenam" sebelum akhirnya terbit membawa pencerahan.
Buddha misalnya, secara kesuksesan yang dicari banyak orang, sang pangeran ini adalah orang yang telah mendapatkan segalanya, namun kekosongan bathinnya berteriak nyaring yang selanjutnya menuntun ia bertapa di hutan Uruvela.
Sejarah telah mencatat bagaimana ditengah meditasinya yang dalam Buddha mendapat godaan hebat, bukan hanya dari yang seram-seram tapi godaan yang lebih halus yaitu sesuatu yang sering kita anggap sebagai kesuksesan atau keberuntungan.
Buddha dan para suci lain di tingkatan spirit, para cendekiawan di tingkat intelektual serta para pebisnis sukses di tingkat materi menyadari betul akan proses berkebalikan ini.
Kesakitan, ketidaknyamanan serta penderitaan yang mereka alami, baik dilakukan dengan kesadaran sendiri atau paksaan dari alam, merupakan kesempatan bagi diri untuk bertumbuh kedalam.
Layaknya akar yang tumbuh dibawah tanah, jauh dari perhatian, jauh dari pujian, dalam kegelapan pekat, ia berjuang menerobos kerasnya tanah, terlihat tidak nyaman, terasa tidak enak namun semua ini adalah proses yang tidak bisa ditawar dalam pertumbuhan pohon yang besar nan rimbun.