Pukul 7 pagi kemarin, Kartika sedang bermeditasi setelah menangis keras, mengejutkan saya yang baru saja selesai duduk hening.

Pukul 6.45, ia dijemput Catur, sahabatnya untuk berlatih yoga bersama di Plasa Surabaya, namun Rigpa merengek dan menjerit, tidak mau ditinggalkan Ibunya.

Rigpa tidak mungkin diajak, sementara Tika tidak ingin memutus waktu meditasi saya, jadilah ia frustasi dan mungkin sekali kecewa pada saya.

Sambil terisak ia menumpahkan segala kekesalan hatinya, saya hanya duduk dan mendengarkan tanpa berpikir untuk menenangkan apalagi menyenangkan.

Memang tidak salah, kita semua mencontek dari contoh orang sekitar, tatkala ada yang sedih, seseorang ingin 'Meringankan' dengan cara memberi solusi, alternatif atau mengalihkan "Sudah lupakan, besok kan bisa pergi yoga" atau sekedar menepuk-nepuk pundak sambil berkata 'Sabar-sabar'.

Sementara cara yang lain adalah menyalahkan, dari yang halus, seperti "Namanya juga anak-anak, kamulah yang harus mengerti" atau "Ya memang begitu kalau punya anak. Emang enaaak?" atau yang to the point "Kamu yang salah, harusnya itu ..."

Menurut saya cara-cara yang dipakai diatas oleh sebagian besar orang bukan untuk menenangkan orang yang sedang menangis, melainkan ia sedang menenangkan hatinya sendiri yang tidak nyaman mendengar tangisan orang lain atau melihat orang lain bersedih, ini semua hanya menunjukkan bahwa diri yang bersangkutanlah yang belum memproses segala kesedihan dan amarah didalam diri mereka.

Percuma juga memberi nasehat pada seseorang yang sedang menggunakan otak reptilnya, semua masukan hanya akan ditanggapi dengan reaksi flight atau fight (berantem atau menghindar).

Dengan hanya mendengar, biasanya kita akan menemukan sebuah petunjuk yang terlontar dari kata-kata yang terlontar walau terkadang sangat samar.

Tika takut Rigpa mengalami trauma karena ia tinggalkan, bila ada saya maka ia yakin saya bisa memprosesnya (seperti status facebook yang saya posting 17 feb 2015, tepat 1 tahun lalu - sebuah kebetulan).

Seperti yang sering saya katakan, bahwa manusia tidak pernah bermasalah dengan siapapun dan apapun di luar dirinya, begitupula dengan ketakutan Tika, memang terlihat sangat beralasan namun, jika kita mau melihat lebih dalam, semua ketakutan yang membuat ia meledak bukanlah berasal dari kejadian yang baru dialami, melainkan endapan energi (trauma) yang pernah dialami dimasa lalunya.

Dengan kata lain, ia pernah mengalami peristiwa ditinggalkan yang emosinya masih melekat kuat di dalam bawah sadarnya.

Setelah raungannya reda, kondisi lebih tenang, tanpa berkata saya memintanya untuk duduk, lalu saya memasang bel genta berdurasi 30 menit, dan ia pun hening dalam meditasinya.

Tatkala kemarahan atau kesedihan memuncak hingga merobek semua topeng jaim yang selama ini kita pasang, disanalah waktu paling tepat untuk menerobos relung hati dimana tersimpan dan terpendam segala dendam dan kebencian.

Janganlah merugi dengan membiarkan kemarahan dan kesedihanmu lewat lalu mengendap menjadi beban, dengan duduk hening manfaatkan kesedihanmu untuk meringankan langkah hidupmu, transformasikan kemarahanmu untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi.