Dengan wajah memelas, pakaian lusuh anak yang meminta itu mendapatkan 1 lembar 10 ribu, beberapa detik berselang bocah yang duduk didepan toko yang hendak saya dan Rigpa masuki mendapatkan lagi dari orang asing yang lain, kali ini 2 lembar 5.000 an.

Sekeluarnya kami dari toko, ia masih di tempat yang sama dengan ekspresi yang sama, tangan menghadap atas namun uang yang tadi di genggam entah berada dimana.

Bukannya kita semua sama seperti dia? kalau kata 'Semua' terlalu berlebihan, mungkin sebagian besar dari kita mempunyai kelakuan yang sama.

Ia membuat wajahnya sedih agar mendapat perhatian, kita berdandan juga untuk menarik perhatian, menggunakan mobil mewah agar untuk mendapat penghormatan, mempunyai rumah besar supaya mendapat julukan sukses.

Setelah kita mendapatkan itu semua, tidaklah kita merasa puas, kita masih terus-terus mengejar yang lebih dan lebih.

Untuk makan dan kebutuhan hidup hari itu mungkin sudah berlebih bagi anak itu, dan juga untuk kita semua namun keinginan dalam mengumpulkan lebih banyak lagi dan lagi ada pada hampir dari kita semua.

Kita berdoa di mulut 'Jadilah menurut kehendakMU', dengan ketakutan akan masa depan.

Mengulang ribuan kali di bibir 'Berikan makanan kami hari ini yang secukupnya' namun di kepala kita terus 'Berdoa' dengan membayangkan harta dan pangkat yang tinggi.

Kita melihat orang-orang yang miskin di sekitar kita, dan juga mengetahui mereka-mereka yang super kaya dalam penguasaan harta, namun dimanakah bisa kita temui manusia-manusia yang berkata 'Cukup'?.

Kita bisa, bahkan sering mengatakan 'Cukup' pada orang yang super baik yang membantu kita, sekarang beranikah kita mengatakan hal yang sama pada Ia yang maha baik.
keberlimpahan bukanlah benda, tapi kondisi bathin.

Kepuasan bukan dicapai dengan terlampauinya keinginan, namun ketika kita sudah mampu untuk berhenti.

Selama kita masih berkejaran dengan hasrat, selama otak masih berkeliaran untuk membandingkan , selama itu juga goncangan menetap dalam bathin.

Seperti kita tidak mampu melihat keindahan yang ada di dalam air yang keruh karena goncangan begitupula keindahan didalam diri yang tak bisa kita rasakan tatkala pikiran bergerak sibuk.

Rahasia kebahagiaan bukan pada kata 'Lebih' bukan juga pada waktu 'Nanti dan tempat tertentu', para suci mengingatkan kita bahwa waktu yang paling mulia adalah saat ini, tempat yang paling baik adalah disini, dan kedamaian yang kita idamkan juga sudah tersedia dan selalu ada di dalam.

Kita semua adalah pengemis, tanpa sadar kita terus mengemis, mungkin tiada kata yang terucap namun melalui bayangan mental kita mewiritnya, sadarilah bahwa dunia ini bukan stadion perlombaan juga bukan gudang tempat mengumpulkan harta.

Yang kalah berlomba akan sedih, yang menang merasa puas sebentar lalu mendapatkan rasa hambar bila tidak mendapat kemenangan lagi begitu juga nasib yang sama terjadi pada mereka yang berhasrat keras mengumpulkan harta.

Mengemislah, mintalah dengan kerendahan hati agar diberi hidayah berupa hati yang dipenuhi rasa syukur.

Mereka yang merasa kurang akan selalu kekurangan, mereka yang cukup selalu dicukupkan.