Dua hari kemarin saya mendapat kesempatan istimewa berbagi dengan 90 an remaja putri di Jogjakarta.

Saya sangat menikmati semangat mereka dalam menyerap materi semetara disisi lain saya juga belajar banyak dari para siswi ini.

Salah satu hal yang saya dapati dan ingin saya share adalah bahwa dalam pertumbuhan hidup ini kita sangat sangat dan sekali lagi sangat perlu untuk menyediakan waktu untuk mengecek program-program yang sudah tertanam dalam pikiran ini.

Melepas program lama lalu memasukan yang baru saat ini adalah sewajib kita meng-upgrade software di gadget.

Bahkan Alvin Toffler berani menyebutkan bahwa "Buta huruf di abad 21 ini bukan mereka yang tidak bisa baca dan menulis. buta huruf di saat ini adalah mereka yang tidak mampu learn, unlearn dan relearn".

Contoh soal makanan.
Kita telah teryakinkan bahwa makanan adalah sumber energi tapi kita tahu dan mengalami sendiri ketika selesai makan bukan energi tapi malah ngantuk yang di dapat.

Bukan itu aja, bangun dengan badan pegel-pegel dan sakit semakin sering dirasa.

4 sehat 5 sempurna sudah 20 tahun ditinggalkan namun berapa banyak yang menyadarinya?.

Dengan program yang ada kita merasa bersalah membuang makanan, sehingga kita memaksa menelannya walau perut sudah menolak.

Pertanyannya, siapa yang merasa bersalah ketika membuang plastik bungkus makanan?

Padahal makanan akan jadi pupuk kalau di buang sementara plastik menjadi racun bagi tanah.

Dari cerita dan curhat saya juga menemui banyak program yang membuat mereka galau.

Cerita yang banyak diulang adalah mengenai sakit hati yang dirasakan dan semua aklamasi menyatakan bahwa penyebabnya adalah orang luar.

Di satu sisi kita sepakat yang dapat menyembukan diri kita hanyalah kita sendiri, sementara disisi lain kita juga terdoktrin bahwa yang menyakiti adalah orang lain.

Bukankah ini menarik?

Gandhi pernah berujar "Tidak ada satupun orang yg mampu menyakitimu tanpa persetujuanmu"

Lagu, media, lingkungan memang sudah menancapkan kuku tajamnya di benak ini, membuat kita seolah tak berdaya mengikuti kemana arah mereka pergi.

Sampai kita menyadari dan mau bertanggung jawab atas semua rasa sakit tersebut lalu mengubah makna barulah kita mampu menyembuhkan luka di dalam.

Selama kita masih menunjuk pihak lain atas sakitnya diri, selama itu pula ketidaknyamanan mendekam di dalam.

Perhatikan apa yang anda dilakukan bila laptop anda menjadi lambat juga sering hang, atau mobil yang anda kendarai terasa berat, keras dan kurang nyaman, pasti anda segera memperbaiki laptop dan mobilnya kan?

Kalau Anda setuju menjawab "Ya" pada pertanyaan diatas bagaimana bila hati anda kurang nyaman?

Apakah Anda menyediakan waktu untuk memperbaikinya?

Bila mobil dan laptop saja harus di otak atik programnya atau diganti spare partnya untuk menjadi sembuh, bagaimana kita bisa berharap hati menjadi nyaman dengan menyalahkan orang lain?

Sadari dan stop menyalahkan yang lain dan mulailah merangkul ketidaknyamanan yang ada.

Sebab ketidaknyamanan bukanlah petaka, sakit hati bukanlah hukuman, semua itu adalah bel yang berbunyi yang memanggil kita untuk masuk dan merawat luka di dalam.

Tatkalah kita mau merawatnya dengan sungguh-sungguh, bukan hanya keindahan yang di dapat tapi juga hati yang lebih lebar yang mampu menampung kebahagiaan.