Masih Bisul Lanjutan
Lanjutan dari tulisan sebelumnnya.
Perawat-perawat itu mewajibkan kami minimal sehari sekali melakukan dressing, istilah untuk mengganti perban sekaligus membersihkan luka.
Ho Chi Minh City kami mendarat, saya tidak punya gambaran seperti apa kota ini, saya tidak membaca review, atau mencari tahu tentang apa yang menarik di kota ini, saya ingin menguruskan persepsi selangsing mungkin dan membiarkan keterkejutan menonjol dimana-mana.
Dan betul juga, menyemutnya sepeda motor yang lincah menyambut kami yang duduk di jok belakang supir yang ber stir kiri.
Singkat cerita, setelah istirahat sejenak kami disarankan oleh petugas hotel yang sangat baik itu ke rumah sakit A, dan diperjalanan kami mampir membeli SIM Card, sang penjual merekomendasikan ke RS B.
Kami bergegas menyelusuri Bui Vien, jalan para backpacker menuju Ben Thanh market, bertanya beberapa kali termasuk ke map google dan meminta bantuan aplikasi google translate yang sangat membantu, sudah lebih dari satu kilo jalan dari yang katanya penjual kartu telpon itu hanya 500 meter saja.
Akhirnya sampai di RS dengan terbengong.
Saya pernah ke RS Cipto yang katanya seram, ke RS Karang Menjangan sebelum menjadi Dr Soetomo yang bangunannya masih baheula, namun ini serasa berada dalam masa perang dunia ke 2.
Menunggu dokter datang, Tika gelisah dan mengajak kabur, pergilah ke RS A yang direkomendasikan petugas hotel.
Rumah sakitnya modern namun kami ditolak, alasanya RS ini hanya untuk orang lokal, yang saya duga alasannya adalah mereka tidak bisa bahasa inggris.
Lalu diberikan kita secarik kertas dengan tulisan yang tidak kita pahami setelah kita menanayakan RS mana yang mampu menerima kami.
Taxi meluncur, dan berhenti di rumah sakit yang pertama kita kunjungi, oalllaaaaah….
Dengan bahasa tarzan kami minta untuk diantar ke klinik modern yang mau menampung kami.
Akhirnya ... "Yup, dokternya berbahasa inggris" kata receptionist itu, dan ia buru-buru menyebutkan angka yang membuat kelegaan kami urung mencair.
Tidak rela rasanya dan rasanya tidak masuk akal.
Malam sudah mendekati pukul 10, Rigpa yang ngantuk mulai mengeluarkan suara-suara yang tidak lucu lagi.
Kita balik ke Hotel dan kembali mendapat saran, bila ingin mengganti perban saja, mungkin toko obat di sekitar sini bisa membantunya.
Semangat berkobar dan berangkatlah kami ke dua toko obat dan mendapat penolakan yang tegas.
Baiklah ... cukup sudah usaha kami mencari, kami akan melakukannya sendiri malam ini.
Di toko obat kedua itu bagaikan seorang dokter di UGD dengan tanggap Tika memesan Sarung tangan steril, perban, plester, alkohol dan berbagai pernik lainnya.
Perban dibuka, dan nanah semakin banyak dibanding sehari sebelumnya, saya dan Tika percaya bahwa antiseptik berwarna coklat gelap yang terkenal dimana-mana mengalami penolakan dari badan saya.
Kami meggantinya dengan cairan Coloidal Silver.
Entah mendapat firasat darimana, saya meminta sahabat yang menyusul dalam perjalanan kami untuk membawakannya dari Bali.
Esoknya kami ke klinik dekat hotel dan dengan gaya premannya sang mantri membuka perban dan mendapatkan nanah yang masih membludak, ia langsung membersihkan dengan gerakan dan tekanan seolah jaman masih dalam keadaan perang. ia langsung menginstruksikan dengan segera mendapatkan dokter karena ini sudah serius.
Disinilah 'Iman' saya diuji, ada beberapa bagian dalam diri yang mulai menyarankan untuk minum antibiotik sampai ada yang menyalahkan penolakan saya pada bahan kimia yang sudah puas saya tanggak sewaktu kecil sampai remaja.
Di tengah pergolakan batin ini, sang penjaga hotel yang baik hati langsung menawarkan saya menunggang sepeda motornya dan meluncur berdua bersamanya ke sebuah klinik dengan nama inggris.
Beberapa langkah sebelum masuk ia baru teringat bahwa pasport kami masih ia tahan di hotel dan saya pun terlalu bersemangat juga sehingga dompet uang dan dompet kartu masih berada ditangan Tika yang menunggu di hotel.
Gagal maning ... gagal maning.
Dalam perjalanan diatas motor pulang ke hotel saya melakukan dialog pada sang bijaksana didalam.
"Setelah pengalaman yang bertubi-tubi ini apa yang saya harus lakukan pada tubuh ini?"
Ada suara menjawab, "Sehebat apapun kemampuannya, setinggi apapun gelarnya, orang yang paling mengerti tubuh Anda adalah diri Anda sendiri, Gobind."
Cukup sudah, bagi saya kasus ini sudah selesai, saya sudah menemukan jawabannya dan membuat keputusan.
Memang nanah semakin banyak, namun tidak ada rasa sakit dan yang terpenting saya merasakan kebugaran yang amat pada tubuh saya, setiap harinya semakin fresh bahkan jauh lebih baik dibanding sebelum saya meninggalkan Indonesia.
Parameter ini sudah lebih dari lainnya menurut saya, apalagi saya telah melalui hal semacam ini sebelumnya beberapa kali meski kali ini adalah luka yang terbesar.
Saya terus melakukan self terapi, seperti system Immune boost, acupressure, balancing chakra dan listening to the body serta tak lupa mengganti dan membersihkan sang luka setiap hari.
Sewaktu mengangkat nanah itu tak hentinya saya berucap berterimakasih atas perannya yang luar biasa mengorbankan dirinya bagai prajurit yang wafat syahid di medan perang.
Selain itu saya juga berbicara pada bakteri yang menjalankan tugasnya dengan baik.
Bakteri bukan menyerang saya, ia hanya hadir karena undangan dari luka pada kulit ini, dan para bakteri ini juga sangat berjasa dalam membangunkan kekebalan dalam diri yang sebelumnya terlelap.
Suster cantik Kartika dibantu asisten kecil Rigpa sampai hari ini terus menjalankan tugasnya dengan setia, menengok, membersihkan dan menutup kembali sebelum doa meluncur dari bibir indahnya.
Dan penampakan luka pun berangsur mengering dan mulai menunjukkan kesembuhan.
Demikianlah perjalanan luka yang menemani tur keliling tanpa rencana ini.
Pelajaran besar dari kejadian ini adalah sebuah kesadaran bahwa apa yang terjadi di luar juga bisa terjadi di dalam diri.
Bila kita mendapat luka di luar tubuh, kita dengan sangat serius menanganinya, kita merawatnya agar ia tidak menjalar dan sesegera mungkin kering, seandainya oh seandainya, kita semua mau melakukan hal yang sama pada luka-luka didalam diri ini, tentu kedamaian dan keindahan perjalanan bukanlah hal yang mahal dan langka.
salam bahagia
NB: Setiap orang mempunyai tubuh dan kebijaksanaan yang berbeda-beda.
Tulisan ini bukanlah referensi untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan tubuh dan jiwa masing-masing.