Larangan Tertawa
Baru aja otak-atik keynote untuk seminar hari ini di Hong Kong, dan pada bagian yang menerangkan tentang keuntungan besar dari tertawa, saya teringat seorang ibu yang melarang anaknya ikut kelas saya yang saat itu ada sesi perkenalan tentang Yoga tawa.
Awalnya saya merngira bahwa mungkin ibu ini masih alergi dengan istilah Yoga yang masih menjadi perdebatan pada keyakinannya, namun beberapa waktu kemudian saya menemukan bahwa ia meyakini bahwa tertawa terbahak-bahak dalam keyakinannya tidak diperbolehkan.
Melalui perenungan, saya setuju bahwa dalam tertawa yang berlebihan adalah salah satu pertanda seseorang tidak mampu mengontrol dirinya, dengan kata lain ia hilang 'Kesadarannya'.
Hilang kesadaran disini bukan mabuk atau tidur namun ia sudah tidak eling dan waspada pada dirinya.
Apakah karena ada hal yang lucu atau sebab lainnya, dalam semua agama dan kepercayaan yang selama ini saya tahu,mereka bersepakat bahwa apapun yang menyebabkan menurunnya kesadaran sebaiknya dihindari.
Sebaliknya dalam melakukan yoga apapun termasuk laughter yoga, sadar adalah kunci utamanya.
Menyadari otot yang tertarik, menyadari rasa sakitnya, hangatnya nafas yang terhembus dan juga gerak pikiran dibelakangnya.
Jadi kuncinya bukan apa yang diluar melainkan apa yang terjadi di dalam.
Bukan tertawanya tapi apa yang melandasi tertawa itu, kesadaran atau ketidaksadaran?
Begitu pula dengan musik, ada yang melarangnya ada pula yang memanfaatkannya untuk mencapai tingkatan samadhi.
Dalam sesi akhir film apik dari Pakistan yang banyak mendapat penghargaan sekaligus mencerahkan Khuda Kay Liye, (For God's sake) saya mendapat gambaran lebih luas juga jawaban mengenai ketakutan pada musik oleh kelompok tertentu sehingga mereka melarangnya.
Orangtua melarang anaknya, Agama melarang umatnya, pimpinan melarang anak buahnya, dan berbagai larangan apapun di berbagai sisi kehidupan adalah salah satu bentuk perhatian pada jiwa yang sedang bertumbuh.
Tujuannya agar orang atau anak tersebut tidak mendapat konsekwensi dari apa yang dilakukan, namun pelarangan tidak boleh berhenti disini saja.
Perlu perubahan, yaitu upaya pembelajaran yang sejalan dengan tingkat pertumbuhan.
Seperti perubahan dari larangan menjadi pemahaman, bahwa setiap hal yang kita lakukan baik secara tindakan, ucapan, pikiran bahkan niat terkecil sekalipun mempunyai konsekwensi yang berbalik pada diri ini.
Jika seseorang sampai pada level pemahaman ini, ia sudah lepas dari sikap menyalahkan keadaan apalagi berkeluh kesah, semua ia sadari, termasuk kesialan dan keberuntungan yang bergulir di hidupnya hari ini adalah bunga dan buah yang sedang mekar dari biji perbuatan yang ditanam sebelumnya.