Lapar itu bukan Fisiologis tapi Psikologis
Dua mata saya, hidung saya satu, dua kaki saya pakai sepatu baru
.
Dua telinga saya, yang kiri dan kanan, satu mulut saya
TIDAK BERHENTI MAKAN
.
Kaget saya ketika mendengar kembali lirik lagu tersebut.
Dulu tidak sadar kalau kalimat terakhir itu sangat berbahaya bukan hanya pada manusia tapi juga untuk semua makhluk.
Makan yang banyak ya nak, supaya cepat besar, agar kamu bisa kuat makan yang banyak, anak pintar makannya banyak, atau kalau mau jadi anak mama musti makan yang banyak.
Dan ada puluhan kalimat motivasi lainnya yang sering kita dengar dari orangtua kepada anaknya.
Belum lagi kalau ditambahin kata-kata "Makan harus cepat."
Mungkin sebagian besar dari orangtua tidak sadar kerugian makan yang banyak apalagi ditambah makan cepat.
Makan banyak membuat lambung semakin luas dan memancing seseorang akan makan lebih banyak lagi dikemudian hari.
Selain itu setelah beberapa jam makan yang banyak kita akan mudah terasa lapar kembali karena sebelumnya lambung terasa sesak sudah tidak terasa tertekan lagi dan ini dianggap kondisi yang lapar, padahal masih banyak makanan di lambung.
Masih banyak kerugian lainnya misalnya diabetes yang mengintip akibat pangkreas yang sering kelelahan karena memproduksi insulin dalam jumlah yang banyak sekalius. Disisi kemanusiaan, ada jutaan orang saat ini yang berada dalam kondisi rawan pangan, mengurangi makanan yang kita konsumsi , walau sedikit akan dapat membantu mereka yang lebih memerlukannya.
Lah kalau masih lapar bagaimana?
Percaya tidak bahwa 90% lapar kita lebih condong faktor psikologis daripada fisiologis.
Kita makan bukan karena tubuh sedang memerlukan makanan alias lapar tubuh, tapi karena pikiran kita yang terprogram untuk makan 3 kali sehari, makanya pas jam-jam makan lapar tiba-tiba menyeruak hadir.
Kita juga makan karena program ketakutan yang tanamkan oleh lingkungan sewaktu kita kecil.
Kita makan karena takut sakit.
Sebagian orang dewasa makan karena balas dendam, karena sewaktu kecil sengsara, ingin beli ice cream atau cake tidak bisa, maka sewaktu dewasa dan punya uang akhirnya dia puas-puasin.
Ada juga orang makan karena status, seperti jaman dahulu melihat para mener makan roti dan keju akirnya ia pun makan hal yang sama walaupun tidak selalu cocok dengan perut orang lokal indonesia, sementara lainnya nongkrong di fastfood dan restoran franchise asing lainnya karena gengsi yang tinggi.
Dan tentu masih banyak faktor psikologis yang bisa diuraikan lainnya.
Belum lagi kita diiming-iming iklan yang mengeroyok kita dari sisi manapun dan menembus sampai ke tulang sumsum.
Kita diminta untuk minum vitamin C 1000 mg sementara kebutuhan orang dewasa hanya 65 mg, kita diminta untuk mengkonsumsi susu dengan kalsium yang tinggi untuk penguatan tulang namun hasilnya susu dengan tinggi kalsium inilah yang menyebabkan osteoporosis.
Belum lagi candu yang terbesar sekaligus legal yaitu gula dan turunannya termasuk MSG yang disematkan ke hampir semua produk kemasan.
Kita dibuat tidak percaya dengan produk alami dari Pencipta yang tumbuh dengan baik di sekitar kita.
Saya merindukan para orangtua yang tidak memaksakan anak menjejali makanan sambil berkejar-kejaran dan mengalikan perhatian anak dengan beribu cara.
Kak Seto pernah mengatakan "Jangan takut kalau anak Anda tidak makan satu hari, tapi bolehlah takut kalau Anak tidak bermain samasekali dalam satu hari.
"
Berbekal itulah saya tetap tenang ketika anak kami Rigpa tidak mau makan, bahkan sewaktu panas meningggi Ia berpuasa tiga hari (artikel tentang suhu tinggi dan puasanya Rigpa bisa dilihat di halaman lain website ini)
.
Dimanakah orangtua yang mengatakan "Cukup makananya Nak, nanti kalau sudah lapar lagi kita makan ya?"
Setiap orang Kristen hafal dengan "Doa Bapa kami" yang bait kelimanya adalah "Berikan kami makanan pada hari ini yang secukupnya"
dan setiap orang Muslim juga hafal benar apa yang dikatakan Nabi Muhammad untuk berhenti makan sebelum kenyang.
Saya yakin juga di kepercayaan lain kebijakasaaan yang sama dianjurkan.
Puasa adalah cara tersederhana dan terefektif untuk sembuh dari banyaknya sakit dan penyakit.
Dokter Hiromi Shinya pencipta kolonoskopi yang sangat terkenal dengan bukunya Miracle of Enzim menjelaskan keajaiban puasa di bukunya Miracle of Microba.
Ketika kita berpuasa maka sel-sel akan melakukan kanibalisasi.
Sel yang kuat dan yang lemah/sakit keduanya tidak mendapat makan, maka sel yang kuat akan memakan sel yang lemah/sakit, dengan kata lain tubuh melakukan self healing.
Seorang sahabat bertanya bagaimana dengan kanker, apakah Puasa juga bisa menyembuhkan kanker dan sejenisnya? jawabannya besok ya :)