Kita Telah Dididik 'Harus' Mempunyai Lawan
Lanjutan tulisan sebelumnya dan sebelumnya.
status kali ini akan mengkaji lebih dalam dan mungkin sekali semakin tidak populer.
Kita telah dididik 'Harus' mempunyai lawan, di sekolah paling dasar kita diberi rangking, dengan kata lain secara tidak langsung kita saling diadu dan dibandingkan baik secara personal maupun kelompok.
Kelas 1A dengan 1B dibuatkan pertandingan, dalam skala lebih kecil lagi, baris satu dengan baris lainnya.
Saya ingat sewaktu SD, sebelum pulang, Guru meminta kami para murid untuk duduk tenang dan melipat tangan, dan yang paling bisa tenang (tidak bergerak dan tidak bicara) maka akan ditunjuk untuk meninggalkan kelas dahulu.
Akhirnya kita tumbuh dengan garis pembatas yang tergores keras dan dalam, paradigma aku dan kamu, pihakku-pihakmu, teman atau lawan kental sekali terasa.
Sementara nilai kerjasama, gotong royong, musyawarah, dan nilai-nilai luhur lainnya yang tersirat dalam budaya kita seolah hanya terpajang dan terbingkai ditembok sekolah dan kantor pemerintahan.
Kita diminta untuk berusaha keras untuk menjadi juara, sementara kita semua sudah tahu bahwa juara hanya ada satu orang.
Bila ada siswa yang rangkingnya bontot, jarang sekali ada Guru atau Ortu menyemangati anak itu untuk menerima dengan legawa hasil tersebut terlebih dahulu, apalagi meminta anak tersebut untuk ikut berbahagia dengan prestasi teman-teman yang masuk rangking atas.
Jangankan lawan atau orang yang tidak kita sukai menjadi juara, bahkan terkadang sahabat kita mendapatkan nomer wahid muncul iri dalam diri ini.
Darimana semua karakter ini kita dapatkan?
SMS, Susah Melihat orang Senang dan Senang Melihat orang lain Susah sudah menjadi hal biasa, padahal kita semua manusia memikiki potensi untuk 'Senang Melihat orang lain Senang'.
Kita jarang memanfaatkan potensi tersebut dengan kata lain membentuk syaraf kebiasaan baru yaitu turut bahagia bila ada orang lain yang berbahagia.
Padahal bila itu kita lakukan maka yang paling diuntungkan adalah diri kita sendiri.
Ketika Anda bahagia melihat lain bahagia, belum tentu orang tersebut mendapatkan sesuatu dari Anda, namun diri Anda sendiri pasti dihadiahi oleh alam energi yang baik.
Jadi setelah step satu kita fokus pada diri sendiri.
Lalu lanjut untuk membaca berita baik saja, sekarang waktunya untuk berani membaca dan sekaligus memberi jempol pada seluruh berita yang positif, baik dari kawan maupun lawan.
Membesarkan hati dengan melihat kebaikan di orang lain apalagi pada orang yang tidak kita dukung adalah prilaku yang istimewa yang patut kita usahakan bahkan perjuangkan.
Memang tidak enak awalnya, bukankah semua hal juga begitu?
Jangan kuatir, kebiasaanlah yang akan membuat menjadi biasa (netral), lalu dengan sedikit kesadaran akan keterhubungan diri ini dengan semua makhluk, dan kesadaran bahwa kita semua diciptakan oleh tangan yang sama, maka kita pun akan beralih dari netral menuju bahagia.
Hidup ini penuh pilihan, termasuk ingin memilih sedih atau bahagia.
Sudah lama kita membentuk kebiasaan untuk murka, sedih , iri dan dengki, saatnya merubah cara pandang juga perilaku untuk lebih berbahagia.
Mari ...