Seorang teman di facebook menshare sebuah berita tentang sekelompok orang di negera tetangga yang berkeliling kota, berjalan dan bersepeda tanpa busana.

Selalu seperti itu, di satu sisi ada yang ingin lebih tertutup dan di sisi seberangnya ingin bebas terbuka, begitulah keseimbangan dunia ini terbentuk.

Seperti biasa pro kontra selalu muncul, dan seperti biasa pula saya tidak tertarik membandingkan, menilai apalagi menghakimi.

Bukankah benar dan salah selama ini yang kita gunjingkan adalah kesepakatan? apalagi mereka terlihat biasa saja, tidak risih, tidak terjadi kerusuhan atau ditangkap oleh polisi.

Mungkin hal seperti ini bukan hal baru bagi sahabat di barat, sekitar tahun 60 an Presiden Amerika Johnson pernah melakukan jumpa pers dengan telanjang bulat.

Saya malah tertarik dengan pernyataan yang hadir di kolom komentar, cukup banyak yang menulis "Kiamat sudah dekat" disertai kata-kata pedas yang menghakimi bahkan mengutuk yang memposting foto-foto itu.

"Kiamat sudah dekat" memancing memori dan emosi saya ke masa kecil dimana teman-teman bermain di kampung sering bercerita tentang tanda-tanda akan datangnya kiamat yang bisa dilihat salah satunya dari banyaknya laki-laki yang menjadi perempuan dan sebaliknya.

Di Gereja, berulang kali saya mendengar peringatan dari pendeta agar kita semua segera bertobat karena kerajaan Allah sudah dekat.

Dulu saya sering mendebatnya dengan bertanya "Kata-kata Jesus itu sudah hampir 2000 tahun tapi kok belum kiamat-kiamat ya?"

Sekarang saya mengamini yang dimaksud kalimat itu bukanlah tentang waktu melainkan kita adalah manusia, puncak ciptaan yang paling dekat dengan Allah.

Nabi Muhammmad juga mengatakan hal serupa bahwa Allah lebih dekat dari urat leher kita.

Hanya terlahir sebagai manusia lah kita mampu mengerti dan menjalankan praktek-praktek yang membawa kita pada kesadaran Ilahi.

Ketika isu kiamat meluap mendekati habisnya kalender suku maya pada 21 Desember 2012, hati saya berharap hal itu benar-benar terjadi.

Sejak ribuan tahun orang membicarakan kiamat, namun belum pernah mendapat kesempatan merasakannya.

Kalau kiamat datang sewaktu saya masih hidup bagi saya itu merupakan karunia karena saya bisa merasakan pengalaman yang sangat langka itu.

Kita takut kiamat, kita takut mati, kita takut lainnya karena kita tidak siap.

Kita sibuk mempersiapkan hal lainnya yang tidak pasti namun anehnya enggan berhubungan dengan satu-satunya yang pasti yaitu kematian.

Kita perlu belajar dari tibet dimana bukan hanya kitab kematian yang mereka punya namun para Lama, Rinpoche dan pembimbing rohani setiap hari bermeditasi mempraktekkan diri yang mati.

Mereka berlatih melepaskan belenggu akar dari segala ketakutan yaitu ketakutan akan kematian.

Mereka yang telah melewati ketakutan inilah yang boleh disebut manusia yang hidup.

Baginya kematian adalah bergantinya pengalaman dari hidup di dunia ini menju hidup di dunia yang lain.

Kembali ke "Kiamat sudah dekat", yang bagi umat tertentu masih dipercaya akan terjadi jutaan tahun lagi, dan bagi yang lain ditafsirkan sudah sangat dekat.

Apapun itu, tidak ada satu makhluk pun saat ini yang bisa mengetahui kapan terjadinya, bagi saya kata 'Kiamat' bukan untuk menakut-nakuti apalagi untuk menyalahkan atau mengutuk, melainkan setiap pertanda yang hadir adalah sebagai pengingat agar diri ini berlatih terus untuk merendah, melepas dan berserah.