Menunggu pesawat delay adalah hal yang biasa, sama sekali itu tidak menggangu saya, tidak ada rasa yang ditahan sebaliknya saya malah sering mendapatkan inspirasi ketika tidak mempunyai jadwal melakukan apa-apa.

Kemarin ceritanya lain, 
seperti biasa yang kita tahu, setelah pesawat menyentuh landasan, banyak yang ingin buru-buru, melepaskan sabuk pengaman, berdiri dan mengambil bagasi barang bawaan diatas dengan sigap, sementara saya atau kami sekeluarga memilih untuk memberi kesempatan yang ingin cepat-cepat dan menjadi penumpang terakhir yang keluar dari pesawat.


Kami berpikir toh bis akan menunggu penumpang terakhir, selain itu kalau tidak menunggu di pesawat kami juga akan menunggu bagasi di terminal kedatangan.

Semalam di Soekarno Hatta saya dan sekelompok orang menunggu bis hampir 30 menit di samping pesawat, sekali lagi itu tidak menggangu saya.

Dalam hati saya berkata kalau saya nunggu disini lama, maka begitu sampai terminal, barang pasti sudah tergeletak disana.

Namun hal itu tidak terjadi, setelah lebih dari 15 menit bersama troli menunggu didepan sabuk berjalan yang kaku.

Mulai saya merasakan ketidaknyamanan muncul dari dalam.

Semakin lama semakin besar, dan cukup kuat menganggu ketenangan hati.

"Ini adalah kesempatan" kata saya.

Bel itu sudah berbunyi kuat, artinya ia meminta saya untuk masuk ke 'Dalam'.

"Mengapa menunggu delay pesawat lebih dari 4 jam saya bisa santai sementara saat ini kurang dari satu jam saya terganggu?" adalah sebuah pertanyaan yang saya renungkan cukup dalam.

Renungan itu membawa saya kemana-mana namun ada satu kata yang berulang , yaitu kata "Seharusnya"

"Seharusnya" adalah kata tuntutan yang semakin hari semakin banyak ditambahkan dalam segala sisi kehidupan modern ini, dan tentu tuntutan ini semakin mendesak, mempersempit ruang penerimaan kita.

Saya sudah bersahabat dengan "Seharusnya pesawat itu tepat waktu"

Tapi ternyata saya belum bersahabat dengan "Seharusnya keluarnya bagasi yang tepat waktu"

Ketidaknyamanan adalah luka yang indah, keindahannya adalah rasa tidak enak itu memanggil kita untuk masuk dan mengulik tatanan yang ada di dalam.

Rasa itu bagaikan Guru yang memanggil muridnya untuk belajar dan latihan di dalam kelas.

Dalam bahasa yang apik Rumi mengatakan "Luka adalah tempat dimana cahaya dapat masuk ke dalam dirimu"

Tatkala sudah berlatih dan mampu merawat, tentu murid akan memperoleh petak penerimaan yang lebih luas di dalam hatinya, seperti yang dikatakan Gibran, "Semakin dalam luka menyayat jiwa, semakin mampulah sang jiwa menampung kebahagiaan."