Bertemu dengan beberapa sahabat diantaranya para Ibu-ibu karir yang gesit nan lincah di Jakarta minggu lalu, beberapa kali pembicaraan tersendat oleh handphone yang berbunyi terkadang dari atasannya namun seringnya pada saat itu adalah mereka menelpon anaknya atau dari orang yang menjaga anaknya.

Kekagumanku pada wanita tidak pernah surut, terutama pada sisi dimana mampu memikirkan banyak hal dalam suatu waktu tertentu.

Pada saat itu mereka mengatur dan memastikan anaknya sudah makan,les atau kursusnya lalu kegiatan apa yang perlu dilakukan setelahnya dan setelahnya.

Di Jakarta dan kota besar lainnya adalah wajar bagi anak untuk selalu punya kegiatan dan menjadi aneh kalau mereka hanya duduk-duduk saja.

Terdengar celetukan "Kalau anak dikasih ke bapaknya, pasti pulang-pulang masuk angin", lalu ia pun melanjutkan, "Anak kok ditanya udah laper belum?",
"Ya pasti jawabnya belum lah", dengan nada sedikit naik.

Saya menyadari suara naik itu berasal dari emosi yang belum terselesaikan pada peristiwa masa lalunya.

Juga menyadari bahwa hampir setiap anak, paling tidak di Indonesia susah untuk disuruh makan, saya percaya ini bukan karena makanan yang tidak enak namun pengalaman dipaksa yang tidak menyenangkan sewaktu kecil masih terekam jelas.

Mirip seperti kita yang tidak suka dengan sebuah pelajaran, seringkali bukan karena pelajarannya tapi apa yang dilakukan Guru yang mengajar.

"Apalagi si gobind nih", kata seorang sahabat, "Udah anaknya sakit, ngga dikasih makan berhari-hari lagi".

Karena tidak ada yang bertanya, jadi saya senyum-senyum saja, sambil menyadari kegelisahannya.

Saya memaknai kalimat yang terasa spontan itu adalah bentuk perhatian pada saya dan keluarga.

Memang tidak saya pungkiri dari berbagai prinsip kami sekeluarga banyak berkebalikan dengan kebanyakan keluarga lainnya dalam memandang dan menjalani hidup.

Beli makan dalam jumlah yang kurang adalah lebih baik dari berlebihan adalah salah satu contohnya.

Paling tidak saya percaya bahwa belajar dan membiasakan diri juga anak menahan lapar dan juga berhenti sebelum kenyang adalah lebih baik daripada menjejalkan makanan setiap saat pada anak.

Tidak memaksa dan juga menghormati ia ketika tidak mau makan adalah sangat penting dilakukan daripada membujuk anak sampai ia tidak sadar sendok sudah ada di dalam mulutnya.

Walau sering disangkal para orangtua, saya masih melihat bahwa memaksa makan anak seringkali bukan karena kebutuhan fisik anak melainkan untuk menenangkan hati orangtua, bukan love based melainkan fear based.

Dalam hal mainan, seperti yang saya sampaikan dalam status sebelumnya, saya hanya pernah membelikan sekali saja mainan, itupun karena saya juga yang ingin memainkannya.

Walaupun begitu mainan Rigpa di rumah berjibun karena pemberian dari yang lain dan dampaknya sekarang ia lebih suka bermain potong memotong dengan pisau-pisauan yang sebelumnya pisau beneran, juga masak-masakan yang sebelumnya ikut membantu memasak dan melakukan apa yang kami lakukan.

Membelikan mainan bagi anak setiap orangtua pulang dari luar kota atau secara periodik memang terlihat banyak untungnya, orang tua merasa 'Disayang' oleh anak, orangtua juga tidak repot karena anak akan sibuk dengan mainannya, apalagi kalau yang diberikan adalah gadget canggih, dan tentu anak jadi bisa gampang dikontrol, karena bisa jadi alat acaman 'Kalau tidak nurut, atau tidak mau belajar mama/papa tidak mau membelikan mainan lagi'.

Bagi saya dunia ini adalah tempat bermain yang terbaik, selain paling luas juga indah, seperti mereka yang tinggal dipinggir hutan bermain dengan flora dan fauna, dipinggir pantai dengan lautnya, di desa dengan sawahnya, dikota dengan segala realita yang ada.

Kalaupun ada mainan, hendaknya dibuatlah mainan itu sendiri, sehingga anak belajar bahwa segala sesuatu tidak terjadi begitu saja.

Untuk yang di kota besar memang terasa susah sekali hal diatas bahkan terasa tidak mungkin, bukan hanya ruang yang tidak ada namun juga waktu orangtua yang semakin sedikit, ditambah ketakutan karena berita penculikan, pelecehan sexual dan lainnya yang bagaikan hantu, bertambah banyak setiap harinya.

Soal pendidikan juga kami belum tahu, apakah akan sekolah atau homeschooling atau lainnya.

Hanya wacana-wacana saja dan belum ada planing atau pembicaraan serius.

Kalau ada yang mengatakan apa yang kami lakukan adalah salah, kami tidak mendebatnya, melainkan selalu terngiang-ngiang kata-kata bijak mendiang John Lennon "life is what happens while you are busy making other plans".

Paling tidak saya sendiri sampai usia 30 tidak pernah terlintas untuk jadi penulis apalagi pembicara, diusia itu saya yakin bahkan seyakin-yakinnya bahwa diri ini tidak bisa menulis.

Hal yang sama dengan Kartika yang tak pernah terbayang sebelumnya untuk tinggal dan bekerja di ubud serta berpenghasilan jauh melebihi Jakarta, Apalagi ditambah membayangkan mempunyai suami yang gondrong keriting dan tidak pakai alas kaki.
Ngga banget deehh...

Di kesadaran saat ini, bagi kami fondasi pendidikan bahkan kehidupan haruslah spiritualitas, bagaimana ia mengenali diri sejatinya, lalu bertumbuh mengenali dan menguasai emosi dan terakhir adalah pengembangan sisi-sisi intelektual.

Duduk hening lebih penting daripada matematika, mengenali perasaan lebih perlu dibanding mengenali bahasa asing, hidup saat ini (present moment) jauh lebih berharga dibanding ilmu membuat perencanaan dan kurva ramalan.

Bisa mempraktekkan seni tidak melakukan apa apa (the art of doing nothing) adalah 1000 kali lebih berguna dari semua pelajaran di sekolah.

Walau terlihat idealis, diatas semua itu kami berusaha tidak melekat pada apapun yang tertulis diatas.

Kehidupan mengalir seperti sungai namun kita sering sekali melekat pada moment dan penghakiman.

Mengalir bersama kehidupan memang sudah menjadi kosakata yang todak populer di masyarakat modern, terkesan pesimis bahkan putus asa.

Kehidupan haruslah direncanakan dan diusahakan sesuai dengan tujuan yang diinginkan, begitulah kata buku-buku motivasi dan para pembicara ternama.

Tiba-tiba ku teringat percakapan Master Zen yang sangat saya kagumi, Thich Nhat Hanh "There are two ways to wash the dishes. The first is to wash the dishes in order to have clean dishes and the second is to wash the dishes in order to wash the dishes. . . "
"Ada dua cara mencuci piring, yang pertama adalah mencuci piring agar piringnya bersih dan yang kedua mencuci piring untuk mencuci piring"

Bermain untuk bermain, makan untuk makan, dan tidur untuk tidur, sungguh seseorang yang sudah menyadari inti kehidupan, yaitu menikmati penuh kehidupan dengan cara hidup di saat ini.