Pekan kemarin sakit kepala hebat mendera saya, setelah belasan tahun saya tidak pernah merasakan sakit kepala, kali ini bukan hanya kepala tapi mata juga terasa tertekan keras plus hampir setengah jumlah gigi ngilu.

Penyebabnya apa tidaklah sepenting pelajaran yang saya terima.

Ditengah padatnya jadwal saya memaksakan diri yang meriang untuk bermeditasi karena meminum obat bukan termasuk dalam pilihan.

Efek relaksasi selama meditasi sangat membantu mengurangi rasa sakitnya bahkan dikeheningan tertentu saya tidak merasakan rasa sakit tersebut, sebaliknya disaat hendak menyudahi meditasi, sakit itu menjenguk kembali.

Beberapa kali, situasi ini membuat saya urung keluar dari zona nyaman tersebut dan menambah jam bermeditasi.

Inilah keharuman dukha yang enggan kita hirup.

Jika selama ini kita mengagung-agungkan Sukha, maka hari ini marilah kita melihat keindahan dari sisi sebaliknya yang bernama Dukha.

Guru spiritual pernah berucap, 'Bagi tubuh, mendapat rejeki, kesehatan prima, kenaikan pangkat adalah sukacita namun jiwa kita menderita, sementara, usia tua, sakit, kemalangan yang dianggap penderitaan bagi tubuh, sesungguhnya kemewahan bagi sang jiwa'.

Ketika kita mendapat mobil baru, rumah baru, peluang bisnis besar atau kenaikan pangkat, semua ini menuntun bathin kita melihat keluar, mind terstimulus dengan keras menyebabkan gerakan pikiran berloncatan kesana kemari.

Otak kita dipenuhi dengan hitung-hitungan bagaimana agar yang ada menjadi lebih dan lebih.

Lebih dihormati, lebih diterima, lebih hargai, lebih di puja dan puji.

Bila dunia luar masih terasa menarik, maka dunia di dalam terasa hambar.

Jika kita melihat jalan diluar masih terang, pasti jalan ke dalam terlihat remang.

Sangatlah jarang kita melihat orang yang sedang asyik dengan kesibukannya menyempatkan diri untuk 'Berhenti'.

Hanya bila seseorang sudah muak dengan semua, kebohongan, kemunafikan dan topeng yang dipakainya untuk membuat orang lain terpesona, dan meruntuhkan semua ilusi tersebut, barulah orang itu berjalan ke arah diri sejatinya.

Inilah yang disebut orang bebas, ia hidup tanpa berpatokan dengan penilaian orang lain, ia juga tidak berusaha membuat orang lain tertarik padanya, ia tidak ingin mengubah orang lain bahkan tidak punya niat untuk menjelaskan apa yang benar dan salah.

Ia hidup dalam keutuhan dari dalam dirinya.

Alam adalah Guru yang luar biasa, ia dengan sabar menunggu kita menjadi sadar akan kebodohan-kebodohan yang kita lakukan, namun bila kita masih belum sadar atau belum mau sadar juga, maka Ia pun akan 'Memaksa' kita dengan caranya yang selalu elegan.

Usia tua yang tak bisa dihindari adalah salah satu cara semesta memaksa kita untuk merobohkan tembok tinggi ego yang kita bangun sebelumnya.

Di usia tua, diri sudah tidak menarik seperti sebelumnya, disini biasanya kita sudah tidak tertarik untuk berkompetisi dengan hiasan wajah atau pakaian yang aduhai.

Pendengaran yang berkurang, mata rabun, persendian yang kaku otomatis membuat dunia di luar tidaklah seelok sebelumnya, apalagi ditambah sedikitnya keluarga atau relasi yang mengajak ngobrol.

Ketika kita mau menerima keadaan yang terjadi, perjalanan menurun menjadi sangat indah.

Hidup semakin ringan karena beban ego semakin banyak yang kita relakan pergi.

Sakit, kemalangan, usia tua dan penderitaan apapun adalah Guru yang mengingatkan kita akan perjalanan pulang dimana apapun yang kita kejar saat ini tidak akan menjadi bekal dalam perjalanan itu.

Pencapaian, pengumpulan serta semua ambisi yang tersisa kita akan menjadi pepesan kosong disaat kita terbaring menemui ajal.

Apapun yang kita anggap besar dan penting menjadi kecil dan sangat tidak penting sementara semua yang sekarang kita anggap tidak penting dan tidak berguna akan menjadi satu-satunya yang berguna dan sangat-sangat penting.