Sudah 1,5 jam tissue penuh air mata itu ditopang di lantai kayu teras rumah ubud.

Seorang wanita tua dengan tangan tertekuk kaku menggeletakkannya setelah curhat sekaligus meminta cara menghadapi ketakutannya dalam menghadapi masa depannya.

Namanya Ibu Bunga (nama samaran), saya mengenalnya beberapa tahun lalu melalui seorang notaris sukses dari Jakarta nan berhati mulia, ia lah yang selama ini mensupport mental Ibu yang hidup sebatang kara ini.

Beberapa bulan lalu Ibu ini menghubungi saya, ia memerlukan bantuan untuk memperoleh ketenangan dan kesembuhan dari stroke yang merenggut sebagian sensorik dan motoriknya.

Ditengah ketidakberdayaannya ia merasakan ketakuatannya yang amat sangat apalagi setelah mendengar berita sahabatnya, sang notaris yang baik itu pergi untuk selamanya tenggelam oleh hantaman ombak Gili Trawangan.

Saya bisa merasakan kekalutan hatinya dimana uang yang digenggam hanya mampu membuat ia bertahan 3,5 bulan sementara kontrakan rumah yang ia tempati belum ada yang berminat menyewanya.

Saya bisa membayangkan hal ini bisa terjadi pada saya, istri atau siapa saja, usia tua yang melarat dan merana.

"Seandainya ia punya uang banyak maka masalahnya akan beres" kalimat yang sering saya dengar dari banyak sahabat juga keluarga.

Dari ketakutan masa depan inilah kita dikondisikan untuk bekerja dan bekerja mengumpulkan uang agar hari tua tidak susah.

Ibu Bunga juga sudah merencanakan masa depannya, bahkan ia tergolong cukup mengumpulkan uang untuk menghabiskan masa hidupnya, namun proyeksi bisnis yang tidak sesuai, uang yang dimakan teman, dan puluhan kondisi yang tak sesuai harapan bersandar, seolah hoki ogah bertemu denganya.

Pengalaman berulang kali yang terjadi pada saya menyadarkan saya bahwa ada yang lebih esensi yang perlu kita kumpulkan selain bergantung pada rasa aman semu yang ada di luar.

Empati utama saya bukan pada uang yang tidak dimilikinya melainkan pada ilmu untuk melepas dan menerima yang tak pernah dilatih.

Penderitaan hadir karena ketidakmampuan seseorang menerima pada apa yang terjadi, selama hidup kita terlalu sering belajar dan sibuk untuk menambal apa yang lubang agar keinginan kita terwujud bukan berlatih untuk menerima yang terjadi dan merelakan apa yang pergi.

"Andai saya tidak ditipu ...."

"Jika saja saya tidak terkena stroke ..."

"Seandainya saya punya uang ..."

Rumus kebahagiaan yang tertanam dibenak orang modern adalah "Jika saya mendapatkan apa yang saya inginkan maka saya akan bahagia"

Selain beberapa teknik bernafas dan menghadapi kekuatirannya, saya juga menyarankan ia untuk ikut kelas-kelas meditasi baik yang rutin ada disekitaran ubud atau mengambil waktu untuk mengikuti program retreat.

"Iya mas" katanya "Saya tahu untuk menyelesaikan masalah ini saya perlu untuk tenang, saya percaya kalau saya bisa tenang pasti nanti ada bantuan atau keajaiban"

Keajaiban berupa bantuan dari orang lain yang membuat hati tenang mungkin saja bisa terjadi, namun itu adalah keajaiban kecil yang hanya bertahan beberapa waktu saja, keajaiban sesungguhnya adalah tatkala kita sadar, ikhlas dan menerima sepenuhnya apapun kekacauan bathin di dalam.

Ketika kita mampu menerima, tidak lagi membandingkan bahkan membandingkan dengan kondisi sehat dan kaya seperti dahulu maka ketenangan menggandeng kita ke wilayah yang bernama ikhlas, dimana yang positif tidak digenggam dan yang negatif tidak ditendang.