Impian yang Terbalik.
Di usia belasan tahun saya mempunyai impian kuat tentang keluarga yang saya inginkan, bahkan lebih daripada apa yang biasa muncul di iklan-iklan itu.
Saya mempunyai rumah di lokasi mewah dan mobil elit dan sangat terawat, walaupun saya bekerja namun sebagian besar waktu saya habiskan dengan keluarga.
Saya memberi kebebasan pada istri saya apakah ia akan mangurus anak atau berkarir, kalaupun berkarir semua penghasilannya adalah untuk nya selain uang belanjaan yang berlimpah setiap bulannya.
Kesimpulan satu kalimatnya adalah, istri saya adalah istri yang paling bahagia di dunia.
Begitupula dengan anak, ada ruang dengan mainan yang lengkap, makanan dengan gizi sempurna, sekolah yang terbaik, dan lain-lainnya dan lain-lainnya.
Saya merasa saya mengetahui apa itu bahagia dan bagaimana membahagiakan orang lain terutama istri dan anak.
Dengan konsep bahagia dengan membahagiakan orang lain yang saya yakini pada saat itu, alhasil selama karir percintaan dengan para mantan, kecuali di tiga bulan pertama yang romantis, lebih banyak cek-cok dibanding akurnya.
Memaksa dan posesif adalah makanan sehari-hari, walau begitu saya tidak berkecil hati dengan perilaku saya saat itu, karena itu adalah hal yang wajar dikehidupan ini.
Sekarang, kecuali rumah yang masih mewah (mepet sawah), apa yang saya impikan berhasil terbalik 180 derajat.
Tinggal di desa, rumah mungil dan masih ngontrak, mobil standar dan pakaian cuma sewarna, udah ngga pernah sabunan apalagi pakai alas kaki.
Lebih kerennya bagi sebagian besar orang mungkin saya di cap suami dan ayah yang cukup kejam.
Dahulu namanya pacar tiap hari dibuatin susu dengan komposisi vitamin yang paling banyak, kalau sakit dipaksa minum obat, sekarang anak sendiri jangankan susu, permen, coklat dan snack kemasan pun tidak diberi, kalau sakit boro-boro dibawa dokter, obat pun tidak diminumkan.
Dulu suka sekali bawain hadiah untuk pacar, sekarang, seingat saya sampai Rigpa 2,5 tahun ini, baru sekali saya membelikan ia mainan dan itu juga karena saya juga suka memainkannya.
Kalau Kartika sedang sedih ataupun marah, tidak ada niatan saya untuk meng adem-ademin atau menenangkan, yang ada saya cuekin dia dengan emosi di dalam dirinya.
Karena kesadaran dan konsep bahagia yang total berbeda, rasanya hampir tidak ada keinginan lagi 'membahagiakan' Istri dan anak, Bila mainannya hilang atau rusak, daripada mati-matian menggenapi keinginan anak untuk membelikan yang baru, saya lebih memilih meminta Rigpa menerima apa yang terjadi.
Tentu sambil menjelaskan bahwa dalam alam ini lebih banyak hal yang kita inginkan tidak terjadi daripada yang terjadi, untuk itu belajar menerima mempunyai nilai yang lebih berarti daripada mengejarnya.
Membuat anak bahagia hari ini dibacanya adalah memanjakan anak, dengan kata lain membuat anak selalu tertawa, salah satu caranya dengan mengikuti hasratnya.
Anak boleh sedih, boleh kecewa juga boleh marah, malah ia harus berkenalan dengan emosi-emosi yang hadir, dan juga belajar bukan hanya cara mengatasinya melainkan mengetahui darimana asal muasal kesedihan dan kemarahan tersebut.
Apa yang saya lakukan pada Tika, juga ia lakukan pada saya. Ketika ia sedang marah atau mengeluh, saya bertanya "Masalahnya dimana, apakah di luar atau di dalam?" dan tanpa berkata, dia pun langsung 'ngumpet' untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
Manusia hanya bermasalah dengan dirinya sendiri, bila kita tidak punya waktu untuk masuk dan menengok apa yang ada di dalam, sampai kapanpun kita tetap akan terombang-ambing dengan menyibukkan pikiran agar masalah tersebut tertumpuk lalu terlupakan.
Memeluk kesedihan serupa dengan memeluk kesenangan adalah resep harian yang kami telan tiap hari.
Kesenangan dan kesedihan adalah saudara kembar yang patut diperlakukan dengan sama, suka tidak digenggam, duka tidak ditolak adalah rahasia kebahagiaan yang tidak populer, juga tidak perlu untuk ditiru tapi boleh kalau mau di share